Selasa, 30 Oktober 2012
Hukum dalam Agama Katolik
A. Pengertian
Hukum
Hukum ada
untuk menjaga harkat manusia, artinya untuk menjamin martabat manusia sebagai
ciptaan Tuhan yang mulia dan agung (Citra Allah). Hukum berfungsi untuk
menjamin keteraturan sosial. Di dalam pembahasan hukum secara umum menurut
pandangan hidup kristiani ini akan dibahas empat hal berturut-turut yaitu
Harkat Manusia, Sepuluh Perintah Allah, Cinta Kasih, dan Kerajaan Allah.
1. Harkat
Manusia
Konsili
Vatikan II menegaskan, demi Injil yang dipercayakan kepadanya, gereja dengan
resmi mempermaklumkan hak-hak manusia, yakni hak perorangan, khususnya kaum
buruh, hak keluarga dan pendidikan yang berkaitan dengan tugas kewajiban negara
dengan tata nasional dan internasional yang menyangkut kehidupan ekonomi dan
kebudayaan, damai dan perang, hormat terhadap kehidaupan sejak di rahim ibu
hingga kematian.
Martabat
manusia berakar didalam penciptaannya menurut citra dan rupa Allah. Di dalam
Kristus, gambar Allah yang tidak kelihatan, manusia diciptakan menurut CITRA
Pencipta, serupa dengan Dia. Di dalam Kristus, Penebus dan Juru Selamat, citra
Ilahi didalam manusia yang telah dirusakkan oleh dosa asal, diperbaiki dalam
keindahannya yang asli dan dimurnikan oleh rahmat Allah.
2. Sepuluh
Perintah Allah
Sepuluh perintah Allah dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu perintah 1-3 yang mengatur
hubungan Allah dengan manusia dan 4-10 mengatur hubungan manusia dengan manusia
yang dapat dilihat dalam sepuluh perintah Allah berikut:
a. Jangan
menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja dan cintailah Aku lebih dari
segala sesuatu.
b. Jangan menyebut
nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat.
c. Kuduskanlah hari
Tuhan.
d. Hormatilah ibu
bapakmu
e. Jangan membunuh
f. Jangan berzinah
g. Jangan mencuri
h. Jangan bersaksi
dusta tentang sesamamu
i.
Jangan menginginkan isteri sesamamu
j.
Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.
Kalau kita
hubungkan dengan hidup kita sehari-hari, pelaksanaan suatu hukum tanpa
dibarengi dengan kesadaran tidak akan langgeng. Didalam menerapkan suatu hukum,
kita memerlukan sikap batin. Menilai suatu perbuatan, tidak cukup hanya menilai
benar atau salah dari segi hukum saja. Sikap lahir dan batin harus sejalan.
3. Cinta Kasih
Hidup kristen
merupakan suatu tanggapan terhadap kasih dan rahmat keselamatan-Nya yang
dianugerahkan secara bebas kepada kita melalui Tuhan kita Yesus Kristus.
Pengikut Yesus harus mengusahakan suatu sikap yang penuh kasih kepada sesama,
terlebih kepada mereka yang tersingkirkan dan tertindas. Ketentuan hukum
keagamaan mendapatkan artinya bila dilaksanakan dengan sikap batin tepat dan
diwujudnyatakan di dalam tindakan sehari-hari.
4. Kerajaan Allah
Kerajaan
Allah itu perdamaian, kerukunan, keleluasaan batin, keadilan, keutuhan
kehidupan dan cinta kasih. Yesus mengajarkan bahwa titik tolak pewartaan-Nya
mengenai kedatangan Kerajaan Allah adalah terpenuhinya harapan manusia yang
sejati.
Bagi Yesus
kerajaan Allah bukan kemegahan didalam dunia. Ia mengajarkan bahwa kerajaan
Allah memuat suatu janji yang tidak dapat dipenuhi oleh teknologi, ekonomi atau
ilmu pengetahuan. Kepenuhan hidup manusia sejati dapat terjadi hanya bila
manusia bersatu dengan Allah, dasar dan tujuan hidup manusia.
B. Hukum Pernikahan
Kristiani
Sebagai negara
yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama sehingga,
perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahiriah, tetapi juga rohani.
Menurut pandangan
Gereja Katolik, pada pembahasan ini akan diuraikan empat bagian besar sebagi
berikut:
1. Tujuan
Pernikahan Kristiani
Pernikahan
kristiani bertujuan untuk menyejahterakan suami istri dan anak. Suami istri
saling membantu dan membentuk suatu kesatuan sosial yang paling kecil.
Penyerahan diri secara tulus dalam konteks pernikahan mengakibatkan tercapainya
kesejahteraan jasmani dan rohani suami istri itu sendiri.
Kepenuhan hidup
seksual tidak bisa dianggap remeh di dalam kehidupan berkeluarga. Didalam kehidupan
berkeluarga, seks menjadi wajar. Kesejahteraan lahir batin anak-anak harus
terealisasi melalui pendidikan anak, sebab orangtua adalah pendidik pertama dan
utama. Pendidikan anak tidak berhenti pada sekolah, tetapi pendidikan rohani
(permandian, komuni pertama, krisma, dsb).
2. Perkawinan
Menurut Ajaran Gereja
Menurut Konsili
Vatikan II. ”Perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara
pria dan wanita yang merupakan lembaga tetap dalam kehidupan bermasyarakat”
(Gaudium et Spes 48).
Berdasar kutipan
tersebut, maka perkawinan katolik tidak sekedar ikatan cinta mesra hidup
bersama yang diadalan Sang pencipta dan dilindungi hukum-hukumnya. Perkawinan
menurut bentuknya merupakan suatu lembaga didalam hidup kemasyarakatan. Tanpa
pengakuan sebagai lembaga, perkawinan semacam hidup bersama yang liar. Maksud
dan tujuan perkawinan merupakan tujuan perkawinan kesatuan hidup dari dua
pribadi.
3. Perkawinan
Menurut Kitab Hukum Kanonik
Perkawinan
sebagai perjanjian bersumber dari Gaudium et Spes 48 menegaskan bahwa
perkawinan sebagai perjanjian menunjukkan segi-segi simbolis dari hubungan
antar Tuhan dan umatNya didalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan
Perjanjian Baru (Kristus dengan gerejaNya). Tetapi dengan perjanjian mau
diungkapkan dimensi personal dari hubungan suami isteri yang mulai sangat
ditekankan pada abad modern ini.
Perkawinan
sebagai sakramen merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang
dibabtis.
Perkawinan
sebagai sakramen merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang
dibabtis. Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta Allah kepada
ciptaanNya dan cinta Kristus kepada gerejaNya.
4. Perkawinan
Sebagai Sakramen
Perkawinan yang
telah menjadi sakramen menpunyai dua sifat yaitu monogami dan tidak dapat
diceraikan. Monogami maksudnya, menikah antara satu pria dengan satu
wanita. Didalam pernikahan kristen ditolak poligami (menikah antara satu pria
dengan beberapa wanita) dan poliandri (menikah antara satu wanita dengan
beberapa pria).
Perkawinan itu
tidak dapat diceraikan artinya perkawinan itu tetap kecuali kematian yang
memisahkan. Perkawinan kristiani tidak mengenal kawin kontrak, artinya
perkawinan hanya untuk jangka waktu tertentu lalu cerai. Pernikahan kristiani
menuntut cinta total tanpa syarat dan permanen.
Kesatuan suami
istri menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu mengkuduskan, mengutkan, dan
menghibur tanpa syarat. Oleh karena Kristus dengan setia menyertai dan menolong
suami istri itu pun harus sanggup untuk setia satu sama lain.
Perkawinan
kristiani juga bersifat misioner, yang artinya perkawinan tidak boleh hanya
demi kepentingan kedua mempelai dan keluargnya, melainkan demi kepentingan
seluruh masyarakat. Kedua mempelai sebagai satu pasangan harus menjadi garam,
terang dan ragi bagi seluruh masyarakat.
Tugas Perutusan Gereja Di Dalam Masyarakat
A. Tugas Perutusan
Gereja Di Dalam Masyarakat
Pada pembahasan tugas perutusan gereja didalam
masyarakat ini akan dibahas tentang saling mengasihi di dalam memasyarakat, dan
sebagai ranting-ranting pokok anggur menjadi garam dan ragi masyarakat.
1.
Saling Mengasihi di Dalam Masyarakat
Orang
yang telah mengalami cinta kasih, wajib untuk membagikan cinta kasih itu kepada
orang lain. Kita sebagai umat Allah yang telah mengalami cinta Bapa, Putera dan
Roh Kudus secara berlimpah harus dapat memberi dan membagi cinta itu kepada
dunia dalam perbuatan-perbuatan nyata. Kita harus dapat melaksanakan
karya-karya cinta kasih didalam dunia agar dunia tahu bahwa kita adalah murid-murid
Tuhan.
Dunia dewasa ini
sangat membutuhkan cinta kasih. Segala masalah dan bencana yang menimpa dunia
disebabkan oleh kemiskinan cinta kasih. Banyak masalah tidak akan terselesaikan
tanpa cinta kasih. Mengenai cinta terhadap sesama, Yesus mengajarkan cinta yang
tidak pilih kasih, cinta tanpa perkotakan dan klasifikasi. Tidak terbatas pada
keluarga, suku, atau bangsa sendiri (Lukas 10:25-30). Lebih dari itu, kita
diajari untuk mencintai musuh-musuh kita (Lukas 6:27-36). Mencintai
sesama harus seperti mencintai diri sendiri (Mateus 22: 37-40). Cinta kepada
sesama merupakan bukti cinta kepada Tuhan (1 Yohanes 4:20).
2.
Kita Adalah Ranting Pokok Anggur (Yohanes 15:1-8)
Persatuan dengan
Yesus Kristus dibutuhkan dengan mutlak dalam karya dan pengamalan cinta kasih
kita kita kepada sesama. Motivasi, orientasi dan pola amal kita harus bertaut
pada Kristus, sebab kalau tidak, karya-karya amal kita tidak bersifat murni
lagi.
Maka dari itu,
di dalam usaha kita mengamalkan cinta kasih di dalam masyarakat kita harus mengusahakan
tiga hal. Pertama, memurnikan
motivasi kita terus menerus. Motivasi amal kita harus tetap karena amanat dan
pribadi Kristus sendiri. Kedua,
berorientasi pada Kristus. Setiap karya amal cinta kasih kita akhirnya harus
terarah pada Kristus, bukan kepada diri kita sendiri. Ketiga, seluruh pelaksanaan karya kita harus berpola pada pola
karya Yesus Kristus.
Kristus adalah
pokok anggur dan kita adalah ranting-rantingnya. Ranting tidak dapat hidup
sendiri karena ia dihidupi oleh pokok anggur itu. Jadi, bila kehidupan yang
mengalir diranting-ranting itu sama dengan kehidupan yang mengalir didalam
pokok anggur, itu berarti bahwa orang-orang Katolik harus menjadi serupa dengan
Kristus.
3.
Menjadi Garam, Ragi, dan Terang (Mateus 5:13-16)
Kita
umat Katolik harus bisa menjadi garam, ragi dan terang dalam masyarakat. Garam
(Mateus 5:13) membuat makanan menjadi enak. Kehadiran orang Katolik harus
menjadi seperti garam bagi masyarakat. Ragi (Mateus 13:33) membuat ketan
menjadi tapai yang enak untuk disantap. Kehadiran orang Katolik harus seperti
ragi itu, membuat masyarakat menjadi lebih baik, maju dan berkembang. Terang
(Mateus 5:14-16) mengusir kegelapan dan membawa keceriaan. Kehadiran orang
Katolik harus turut mengusir semua yang gelap, suram, hitam dan tidak manusiawi.
Gereja menjadi terang bukan hanya dengan ajarannya, tetapi juga dengan
perbuatannya.
B. Keterlibatan
Gereja Di Dalam Masyarakat
Pada pembahasan keterlibatan gereja di dalam
masyarakat ini akan dibahas keprihatinan terhadap sikap materialistis, dampak
teknologi, ketidakjujuran, kemurnian, hak milik dan hak hidup
1.
Keprihatinan Terhadap Sikap Materialistis
Materialisme
adalah suatu pandangan yang menganggab bahwa materi (harta kekayaan berupa
uang, emas, rumah, dsb) adalah diatas segalanya. Semua yang tidak dapat
dinilai/diukur dengan materi dianggab tidak ada, sehingga Tuhan juga dianggap
tidak ada.
Ada
dua macam materialisme. Pertama, mereka menjadi materialisme karena percaya
pada ideologi materialisme. Kedua, materialisme praktis, yaitu orangnya tidak
mau disebut materialisme tetapi perbuatan dan tindakannya sungguh hanya mencari
keuntungan materi belaka.
Bahaya
materialisme bagi pribadi-pribadi adalah menjauhkan orang dari Tuhan dan
sesama, sebab materi menjadi paling utama bagi orang itu. Sesama diperalat dan
diperas demi materi. Sikap materialistis membuat orang menjadi tidak bahagia
karena ambisi yang kuat untuk memiliki materi.
Sebagai
umat Katolik, kita harus bisa memberi kesaksian dengan sikap dan perbuatan
bahwa materi bukanlah nilai tertinggi melainkan iman kepada Tuhan YME. Materi
tidak bersifat abadi. Kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai rohani.
2.
Keprihatinan Terhadap Ketidakjujuran
Sebagai
orang Kristiani kita dituntut bersikap jujur. Jujur artinya ada keselarasan
antara perkataan, perbuatan, dan sikap hidup. Nilai kejujuran terletak adalah
jaminan untuk saling percaya, merupakan dasar dari setiap pergaulan dan hidup
bersama yang sehat dan bahagia.
Sebagai
orang Kristen kita harus menghilangkan sebab-sebab yang menumbuhkan ketidakjujuran
itu. Kita harus memperjuangkan kejujuran dengan berbagai cara. Kita harus bisa
memberi kesaksian tentang kebenaran dan kejujuran.
3.
Keprihatinan Terhadap Hak Milik dan Kemurnian
Saat
ini, banyak orang tidak menghargai hak milik orang lain. Didalam sepuluh
perintah Allah, perintah ketujuh dan kesepuluh melindungi milik maupun hak
milik. Kedua perintah itu mewajibkan kita mengamalkan keadilan, yaitu merelakan
dan memberikan kepada masing-masing orang apa yang menjadi haknya.
Setiap
orang berhak atas sekian banyak millik pribadi, sehingga ia dapat hidup secara
layak. Di dalam kenyataan hidup, seseorang memiliki milik pribadi secara
berlebih, sedangkan yang lain serba kekurangan. Secara Kristiani,
kita seharusnya membagi harta di dunia ini secara adil.
Sistem Kapitalisme dan Komunisme
merongrong pribadi manusia dan peraturan Tuhan. Komunisme tidak mengakui hak
milik pribadi dan menyerahkan segala milik kepada negara. Sedangkan kapitalisme
mau menimbun harta di dalam tangan sekelompok kecil orang.
Tentang
dosa melawan kemurnian, Yesus menegaskan.”Telah kamu dengar bahwa ada
dikatakan, jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu, barang siapa memandang
seorang wanita dengan nafsu, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”
(Mateus 5:27-28). Dalam hati timbul segala pikiran jahat seperti pembunuhan,
zinah, percabulan. Semua itu menajiskan manusia” (Mateus 15:19-20).
Bahaya-bahaya
akibat perbuatan mesum antara lain merusak mental dan jasmani,
mengurangi/menghilangkan semangat bekerja, merugikan waktu dan dana, dsb. Oleh
karena itu, untuk menghindari permesuman hendaknya kita menghayati nilai-nilai
kemurnian, mengelak pada kegiatan yang mengarah pada kemesuman. Mengadakan
kegiatan untuk rekreatif dan mencipta, serta berdoa untuk mempertahankan
kemurnian.
4.
Keprihatinan Terhadap Hak Hidup
Ada
gejala didalam masyarakat bahwa nyawa manusia atau hak untuk hidup kurang
dihargai. Gejala tersebut dapat dilihat pembunuhan atau pembantaian,
pengguguran kandungan, euthanasia, narkoba dsb. Gereja mengajarkan bahwa hidup
kita itu pemberian dari Allah. Maka dari itu, hanya Tuhanlah yang berhak atas kehidupan kita.
Kerukunan Antar Umat Beragama
A. Masalah-Masalah
Agama
Didalam masalah-masalah agama ini akan diuraikan
dua bagian besar yaitu faktor ekstern dan intern yang berasal dari umat
beragama.
1.
Faktor Ekstern Intervensi Pemerintah
Dalam
kurun waktu 32 tahun Regim ORBA berkuasa kehidupan umat beragama mengalami
suasana yang memprihatinkan sekali dari segi kualitas, walaupun dari segi
kuantitas nampak adanya kemajuan seperti bertambahnya tempat ibadah dll. Sebab
dalam kurun waktu itu secara praktis diterapkan sistem pemerintahan otoriter
yang represif demi statusquo Regim ORBA.
Penguasa
regim terlalu jauh mencampuri urusan keagamaan dengan akibat terjadi
pelanggaran hak-hak asasi pemeluk agama. Dalam situasi konflik demikian
penguasa regim memanfaatkannya dan tidak segan-segan memihak salah satu kelompok
yang sedang berkonflik. Alhasil ada kelompok yang diuntungkan dan dirugikan dan
lazimnya adalah kelompok minoritas. Padahal menurut penalaran sehat, justru
kelompok minoritaslah wajib dilindungi dan dihormati hak-hak azasi
kemanusiaannya.
2.
Faktor Intern Berasal dari Umat Beragama
Di
dalam menghayati agamanya terdapat sebagian pemeluk agama bersikap dan
berperilaku fanatik buta. Akibatnya kelompok pemeluk agama ini cenderung
memisahkan diri dari kehidupan masyarakat. Kelompok pemeluk agama yang eksklusif
tidak segan-segan dalam mencapai kepentingannya menempuh jalur politik:
Berkolusi dengan penguasa regim bersedia diperalat demi kepentingan politik
regim.
Dengan
konstelasi politik demikian ini umat beragama secara keseluruhan sulit untuk
saling bersikap dan berperilaku toleran. Padahal toleransi adalah sikap yang
tdak menolak perbedaan-perbedaan: Sikap awal yang baik untuk mengadakan dialog.
Melalui
dialog masing-masing pihak bisa menukarkan inspirasi yang terkandung dalam
agama masing-masing, nilai-nilai luhur masing-masing agama saling diungkapkan
untuk menjadi kekayaan bersama. Melalui sikap dan perilaku toleransi
masing-masing pihak kelompok beragama dapat maju bersama.
B. Makna Agama
Dalam Kehidupan
Pada makna agama dalam kehidupan ini akan diuraikan
dua bagian besar yaitu:
1.
Makna Agama Bagi Kehidupan Politik
Mencermati
masalah kehidupan beragama, maka seharusnya agama tampil berperan memberi
petunjuk bagaimana mengatasi konflik dan merangkumnya menjadi sebuah makna bagi
kehidupan manusia, khususnya kehidupan politik. Dalam hal ini agama bisa
berperan melengkapi keterbatasan politik dalam mengatasi masalah pokok yang
dialami oleh manusia, yang ternyata tidak cukup dari segi sosialnya saja.
Salah
satu peran agama adalah menjalankan fungsi tugas kenabian/peran kritisnya
terhadap lembaga/kekuasaan yang membunuh Roh Agama: semangat dasariah dalam
mengemban panggilan menegakkan Kerajaan Allah didunia. Peran agama harus dicari
sedemikian rupa, sehingga mampu memberi petunjuk mengatasi masalah-masalah dan merangkumnya
mengingat keterbatasan birokrasi modern untuk menjangkaunya. Karenanya, kini
dan masa depan mutlak dibutuhkan inter-relasi kerjasama yang harmonis antara
agama dan politik.
2.
Makna dan Peran Agama Katolik Bagi Kehidupan Umat
Beragama
Dalam
bersikap dan menjalin hubungan dengan umat beragama lain, gereja katolik
mengajarkan untuk melihat persamaan-persamaan yang dihadapi oleh umat manusia
dan bagaimana bersama-sama menghadapi keadaan itu. Disamping itu mencoba
melihat juga hal-hal yang tidak sama yang dapat mendatangkan pertentangan untuk
dipecahkan bersama demi kesejahteraan bersama.
Umat
katolik terpanggil untuk berperan dalam kehidupan beragamanya untuk menghayati
dan mewujudkan sikap dan perilaku yang bersifat inklusif, pluralis, dan utuh
terbuka.
Inklusif
artinya, bersikap terbuka dengan menghargai kenyataan diluar lingkungan
katolik. Tidak menganggap bahwa agamanya sendiri benar. Paralelis atau pluralis
artinya, bersikap menerima bahwa ada perbedaan dengan agama lain namun tetap
menghormatinya baik ajarannya maupun mengenai pemeluk ajaran agama yang berbeda
dan tidak begitu saja mengambil alih. Sedangkan utuh terbuka maksudnya,
merupakan perkembangan sikap inklusif dan pluralis.
3.
Hubungan (Kerukunan Hidup) Antar Umat Beragama
Bermacam
ragam corak hubungan antar umat beragama yang antara lain mengambil bentuk
konflik, toleransi dan dialog. Persaudaraan sejati dapat dibangun berdasarkan
toleransi dan dialog, yaitu ketika orang telah mengalami banyak hal yang pada
dasarnya sama didalam ajaran-ajaran agama, dan ketika nilai-nilai luhur dan
kebijaksanaan yang diperlukan untuk hidup bersama dapat dijadikan dasar kerja
sama untuk mewujudkan kesejahteraan lahir batin bersama.
Kerjasama
itu bagi umat katolik bukan hanya karena didasarkan kenyataan kebersamaan hidup
dengan umat beragama lain, tetapi juga didasarkan pada iman katolik yang
bersumber dalam kitab suci, tradisi, dan megisterium gereja. Sehubungan dengan
ini, maka perlu penyelidikan lebih dahulu naskah kitab suci. Naskah-naskah
tersebut bisa dipakai rujukan untuk menggunakan cara berpikir mengenai
keselamatan. Ada 3 cara berpikir mengenai keselamatan sbb:
a. Cara Berpikir
Eklesiosentris : cara berpikir ini berpendirian bahwa keselamatan seseorang
dapat diperoleh dari gereja (berpusat pada gereja).
b. Cara Berpikir
Kristosentris : cara berpikir ini berpendirian bahwa keselamatan diperoleh
langsung dari Yesus Kristus (berpusat pada Kristus) Allah yang menyelamatkan
manusia melalui Yesus Kristus dan keselamatan itu terjadi dalam setiap
kebersamaan yang mengakui Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya.
c. Cara Berpikir
Theosentris : cara berpikir ini berpendirian bahwa keselamatan bersumber langsung dari Allah (berpusat pada
Allah). Allah menyelamatkan semua manusia dan berita mengenai keselamatan
tersebut disampaikan kepada manusia melalui para Utusan Allah: Musa, Yesus,
Mohammad, Budha Gautama, Khong Hoe Tjoe dlsb.
Berdasarkan
ajaran dokumen Konsili Vatikan II kita dianjurkan untuk bersikap rendah hati
(penuh pertobatan dalam diri sendiri) berusaha menghormati orang yang beragama
lain, mencari titik temu/persamaan yang dapat dijadikan landasan untuk
bekerjasama dalam karya-karya sosial, kesehatan, pendidikan, kerja bakti
menanggulangi musibah, bencana alam, dan karya kemanusiaan lainnya. Sebab
melalui karya-karya demikian kita akan
semakin mengalami kebersamaan hidup dalam berkarya nyata sebagai
aktualisasi iman masing-masing umat beragama.
Kita
semua diundang untuk mengubah suasana yang sewaktu-waktu dapat mengancam
kerukunan hidup antar umat beragama. Oleh karena itu pertama-tama diperlukan
perubahan sikap supaya tindakan kitapun diharapkan juga bisa berubah, misalnya
mendatangkan solusi atas konflik. Maka kita harus mencermati apakah konflik
betul-betul ditimbulkan oleh umat beragama sendiri atau karena adanya ulah
rekayasa dari pihak luar yang tidak bertanggungjawab.