Selasa, 30 Oktober 2012
Hukum dalam Agama Katolik
A. Pengertian
Hukum
Hukum ada
untuk menjaga harkat manusia, artinya untuk menjamin martabat manusia sebagai
ciptaan Tuhan yang mulia dan agung (Citra Allah). Hukum berfungsi untuk
menjamin keteraturan sosial. Di dalam pembahasan hukum secara umum menurut
pandangan hidup kristiani ini akan dibahas empat hal berturut-turut yaitu
Harkat Manusia, Sepuluh Perintah Allah, Cinta Kasih, dan Kerajaan Allah.
1. Harkat
Manusia
Konsili
Vatikan II menegaskan, demi Injil yang dipercayakan kepadanya, gereja dengan
resmi mempermaklumkan hak-hak manusia, yakni hak perorangan, khususnya kaum
buruh, hak keluarga dan pendidikan yang berkaitan dengan tugas kewajiban negara
dengan tata nasional dan internasional yang menyangkut kehidupan ekonomi dan
kebudayaan, damai dan perang, hormat terhadap kehidaupan sejak di rahim ibu
hingga kematian.
Martabat
manusia berakar didalam penciptaannya menurut citra dan rupa Allah. Di dalam
Kristus, gambar Allah yang tidak kelihatan, manusia diciptakan menurut CITRA
Pencipta, serupa dengan Dia. Di dalam Kristus, Penebus dan Juru Selamat, citra
Ilahi didalam manusia yang telah dirusakkan oleh dosa asal, diperbaiki dalam
keindahannya yang asli dan dimurnikan oleh rahmat Allah.
2. Sepuluh
Perintah Allah
Sepuluh perintah Allah dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian besar yaitu perintah 1-3 yang mengatur
hubungan Allah dengan manusia dan 4-10 mengatur hubungan manusia dengan manusia
yang dapat dilihat dalam sepuluh perintah Allah berikut:
a. Jangan
menyembah berhala, berbaktilah kepada-Ku saja dan cintailah Aku lebih dari
segala sesuatu.
b. Jangan menyebut
nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat.
c. Kuduskanlah hari
Tuhan.
d. Hormatilah ibu
bapakmu
e. Jangan membunuh
f. Jangan berzinah
g. Jangan mencuri
h. Jangan bersaksi
dusta tentang sesamamu
i.
Jangan menginginkan isteri sesamamu
j.
Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.
Kalau kita
hubungkan dengan hidup kita sehari-hari, pelaksanaan suatu hukum tanpa
dibarengi dengan kesadaran tidak akan langgeng. Didalam menerapkan suatu hukum,
kita memerlukan sikap batin. Menilai suatu perbuatan, tidak cukup hanya menilai
benar atau salah dari segi hukum saja. Sikap lahir dan batin harus sejalan.
3. Cinta Kasih
Hidup kristen
merupakan suatu tanggapan terhadap kasih dan rahmat keselamatan-Nya yang
dianugerahkan secara bebas kepada kita melalui Tuhan kita Yesus Kristus.
Pengikut Yesus harus mengusahakan suatu sikap yang penuh kasih kepada sesama,
terlebih kepada mereka yang tersingkirkan dan tertindas. Ketentuan hukum
keagamaan mendapatkan artinya bila dilaksanakan dengan sikap batin tepat dan
diwujudnyatakan di dalam tindakan sehari-hari.
4. Kerajaan Allah
Kerajaan
Allah itu perdamaian, kerukunan, keleluasaan batin, keadilan, keutuhan
kehidupan dan cinta kasih. Yesus mengajarkan bahwa titik tolak pewartaan-Nya
mengenai kedatangan Kerajaan Allah adalah terpenuhinya harapan manusia yang
sejati.
Bagi Yesus
kerajaan Allah bukan kemegahan didalam dunia. Ia mengajarkan bahwa kerajaan
Allah memuat suatu janji yang tidak dapat dipenuhi oleh teknologi, ekonomi atau
ilmu pengetahuan. Kepenuhan hidup manusia sejati dapat terjadi hanya bila
manusia bersatu dengan Allah, dasar dan tujuan hidup manusia.
B. Hukum Pernikahan
Kristiani
Sebagai negara
yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama sehingga,
perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahiriah, tetapi juga rohani.
Menurut pandangan
Gereja Katolik, pada pembahasan ini akan diuraikan empat bagian besar sebagi
berikut:
1. Tujuan
Pernikahan Kristiani
Pernikahan
kristiani bertujuan untuk menyejahterakan suami istri dan anak. Suami istri
saling membantu dan membentuk suatu kesatuan sosial yang paling kecil.
Penyerahan diri secara tulus dalam konteks pernikahan mengakibatkan tercapainya
kesejahteraan jasmani dan rohani suami istri itu sendiri.
Kepenuhan hidup
seksual tidak bisa dianggap remeh di dalam kehidupan berkeluarga. Didalam kehidupan
berkeluarga, seks menjadi wajar. Kesejahteraan lahir batin anak-anak harus
terealisasi melalui pendidikan anak, sebab orangtua adalah pendidik pertama dan
utama. Pendidikan anak tidak berhenti pada sekolah, tetapi pendidikan rohani
(permandian, komuni pertama, krisma, dsb).
2. Perkawinan
Menurut Ajaran Gereja
Menurut Konsili
Vatikan II. ”Perkawinan merupakan kesatuan mesra dalam hidup dan kasih antara
pria dan wanita yang merupakan lembaga tetap dalam kehidupan bermasyarakat”
(Gaudium et Spes 48).
Berdasar kutipan
tersebut, maka perkawinan katolik tidak sekedar ikatan cinta mesra hidup
bersama yang diadalan Sang pencipta dan dilindungi hukum-hukumnya. Perkawinan
menurut bentuknya merupakan suatu lembaga didalam hidup kemasyarakatan. Tanpa
pengakuan sebagai lembaga, perkawinan semacam hidup bersama yang liar. Maksud
dan tujuan perkawinan merupakan tujuan perkawinan kesatuan hidup dari dua
pribadi.
3. Perkawinan
Menurut Kitab Hukum Kanonik
Perkawinan
sebagai perjanjian bersumber dari Gaudium et Spes 48 menegaskan bahwa
perkawinan sebagai perjanjian menunjukkan segi-segi simbolis dari hubungan
antar Tuhan dan umatNya didalam Perjanjian Lama (Yahwe dan Israel) dan
Perjanjian Baru (Kristus dengan gerejaNya). Tetapi dengan perjanjian mau
diungkapkan dimensi personal dari hubungan suami isteri yang mulai sangat
ditekankan pada abad modern ini.
Perkawinan
sebagai sakramen merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang
dibabtis.
Perkawinan
sebagai sakramen merupakan unsur hakiki perkawinan antara dua orang yang
dibabtis. Perkawinan pria dan wanita menjadi tanda cinta Allah kepada
ciptaanNya dan cinta Kristus kepada gerejaNya.
4. Perkawinan
Sebagai Sakramen
Perkawinan yang
telah menjadi sakramen menpunyai dua sifat yaitu monogami dan tidak dapat
diceraikan. Monogami maksudnya, menikah antara satu pria dengan satu
wanita. Didalam pernikahan kristen ditolak poligami (menikah antara satu pria
dengan beberapa wanita) dan poliandri (menikah antara satu wanita dengan
beberapa pria).
Perkawinan itu
tidak dapat diceraikan artinya perkawinan itu tetap kecuali kematian yang
memisahkan. Perkawinan kristiani tidak mengenal kawin kontrak, artinya
perkawinan hanya untuk jangka waktu tertentu lalu cerai. Pernikahan kristiani
menuntut cinta total tanpa syarat dan permanen.
Kesatuan suami
istri menjadi tanda kehadiran Kristus yang selalu mengkuduskan, mengutkan, dan
menghibur tanpa syarat. Oleh karena Kristus dengan setia menyertai dan menolong
suami istri itu pun harus sanggup untuk setia satu sama lain.
Perkawinan
kristiani juga bersifat misioner, yang artinya perkawinan tidak boleh hanya
demi kepentingan kedua mempelai dan keluargnya, melainkan demi kepentingan
seluruh masyarakat. Kedua mempelai sebagai satu pasangan harus menjadi garam,
terang dan ragi bagi seluruh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar