Jumat, 16 Maret 2012
Dasar Teori dan Sejarah Sastra
A.
Pengertian Sastra
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) arti kata sastra adalah “karya tulis
yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan,
seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya”.
Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.
Karya sastra berarti karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah. Sastra memberikan wawasan yang umum tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual, dengan caranya yang khas. Pembaca sastra dimungkinkan untuk menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasannya sendiri.
Menurut Wellek dan Warren (1989) sastra adalah sebuah karya
seni yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- sebuah ciptaan, kreasi, bukan imitasi
- luapan emosi yang spontan
- bersifat otonom
- otonomi sastra bersifat koheren(ada keselarasan bentuk dan isi)
- menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentangan
- mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.
Sastra bukanlah seni bahasa belaka,
melainkan suatu kecakapan dalam menggunakan bahasa yang berbentuk dan bernilai
sastra. Jelasnya faktor yang menentukan adalah kenyataan bahwa sastra
menggunakan bahasa sebagai medianya. Berkaitan dengan maksud tersebut, sastra
selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang
bersifat estetik saja. Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial,
moral, psikologi, dan agama. Berbagai segi kehidupan dapat diungkapkan dalam
karya sastra.
Sastra dapat memberikan kesenangan
atau kenikmatan kepada pembacanya. Seringkali dengan membaca sastra muncul
ketegangan-ketegangan (suspense). Dalam ketegangan itulah diperoleh
kenikmatan estetis yang aktif. Adakalanya dengan membaca sastra kita terlibat
secara total dengan apa yang dikisahkan. Dalam keterlibatan itulah kemungkinan
besar muncul kenikmatan estetis. Menurut Luxemburg dkk (1989) sastra juga
bermanfaat secara rohaniah. Dengan membaca sastra, kita memperoleh wawasan yang
dalam tentang masalah manusiawi, sosial, maupun intelektual dengan cara yang
khusus.
Berdasarkan uraian di atas, kita
dapat menyimpulkan bahwa sastra adalah hasil cipta manusia dengan menggunakan
media bahasa tertulis maupun lisan, bersifat imajinatif, disampaikan secara
khas, dan mengandung pesan yang bersifat relatif.
B.
Periodisasi
Sastra Indonesia
Periodisasi sastra adalah
penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai
dengan perkembangannya. Selain berdasarkan tahun kemunculan, periodisasi sastra
juga dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi
sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan
objek karya kreatifnya.
Dilihat dari sejarahnya, sastra
terdiri atas tiga bagian, yaitu :
1. Kesusastraan Lama, kesusastraan yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat lama dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kesusastraan lama Indonesia dibagi menjadi:
a. kesusastraan zaman purba;
b. kesusastraan zaman Hindu Budha;
c. kesusastraan zaman Islam;
d. kesusastraan zaman Arab–Melayu.
2. Kesusastraan Peralihan, kesusastraan
yang hidup di zaman Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karya- karya Abdullah bin
Abdulkadir Munsyi antara lain:
a. Hikayat Abdullah;
b. Syair Singapura Dimakan Api;
c. Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri
Jeddah;
d. Syair Abdul Muluk, dll.
3. Kesusastraan Baru, kesusastraan yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat baru Indonesia. Kesusastraan Baru
mencakup kesusastraan pada zaman:
a. Balai Pustaka / Angkatan ’20;
b. Pujangga Baru / Angkatan ’30;
c. Jepang;
d. Angkatan ’45;
e. Angkatan ’66;
f. Mutakhir / Kesusastraan setelah
tahun 1966 sampai sekarang.
Selain penjelasan tersebut, berikut
ini dikemukakan periodisasi sastra menurut H.B. Jassin. H.B.Jassin
mengelompokkan sastra Indonesia atas dua periode, yaitu:
1. periode sastra Melayu Lama
2. periode sastra Indonesia Modern.
yang terdiri atas empat angkatan, yaitu:
a. Angkatan Balai Pustaka;
b. Angkatan Pujangga Baru;
c. Angkatan ’45;
d. Angkatan ‘66 ;
Berikut ini dipaparkan tentang
periode sastra tersebut.
1. Sastra Melayu Lama
Sastra Melayu lama merupakan sastra
Indonesia sebelum abad ke- 20 dengan ciri-cirinya, antara lain: masih
menggunakan bahasa Melayu, umumnya bersifat anonim, bersifat istanasentris, dan
menceritakan hal-hal berbau mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dan
sebagainya.
Sastra pada masa Sastra Melayu Lama
contohnya: dongeng tentang arwah, hantu/setan, keajaiban alam, dan binatang
jadi-jadian. Berbagai macam hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat
Ramayana, Hikayat Sang Boma., Syair Perahu dan Syair Si Burung Pungguk oleh
Hamzah Fansuri dan Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh
Raja Ali Haji.
a.
Angkatan
Balai Pustaka
Angkatan Balai Pustaka lazim juga
disebut Angkatan 20–an atau Angkatan Siti Nurbaya. Angkatan ini merupakan titik
tolak kesustraan Indonesia. Adapun ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah:
menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh oleh bahasa Melayu,
persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi
kehidupan tradisi sastra daerah/lokal, dan cerita yang diangkat seputar
romantisme.
Angkatan Balai Pustaka disebut juga
Angkatan Siti Nurbaya, karena salah satu roman yang sangat terkenal pada
angkatan ini adalah Roman Siti Nurbaya. Berikut ini dapat kita pelajari bersama
sinopsis Roman Siti Nurbaya.
Siti Nurbaya adalah roman yang ditulis oleh Marah
Rusli. Roman ini menceritakan tentang pemuda yang bernama Samsul Bahri, dengan
kekasihnya Siti Nurbaya, dan Datuk Maringgih. Datuk Maringgih dengan
keserakahannya menginginkan Siti Nurbaya untuk menjadi istrinya yang kesekian.
Dengan licik ia beserta kaki tangannya berhasil menghancurkan perniagaan
Baginda Sulaiman, ayah Siti Nurbaya. Karena terlibat utang yang tak akan
terbayar oleh Baginda Sulaiman, akhirnya Datuk Maringgih berhasil menikahi Siti
Nurbaya. Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk Maringgi karena tidak
rela ayahnya dipenjara.
Samsul Bahri sangat mencintai Siti
Nurbaya, berusaha untuk bunuh diri, tetapi gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi
Letnan Mas setelah bergabung dengan Kompeni Belanda. Ketika terjadi perang
antara Belanda dengan masyarakat Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur dengan
Datuk Maringgih. Akhir cerita, semua tokoh penting dalam cerita ini meninggal
dunia. Mereka dimakamkan di Gunung Padang.
Melalui cerita ini, dapat kita
ketahui bahwa kaum perempuan di masa itu, masih terpinggirkan atau belum
mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya berasal dari keluarga kaya, ia
tidak boleh meneruskan pendidikannya setamat dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan
karena adanya anggapan perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Perempuan cukup
mengabdi kepada suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu, pengaruh tradisi
dan adat masih sangat kuat, sehingga siapa pun yang melanggarnya akan dijadikan
bahan pembicaraan di masyarakat.
Berikut ini contoh lain karya sastra
pada masa Angkatan Balai Pustaka, yaitu berupa roman dan kumpulan puisi. Karya
berupa roman antara lain Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Muda
Teruna (Adi Negoro) , Salah Pilih (Nur St. Iskandar) dan Dua
Sejoli (M. Kasim dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan
Permenungan (Rustam Effendi) dan Puspa Mega (Sanusi Pane).
b.
Angkatan
Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru muncul
sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap
karya tulis sastrawan pada masa tersebut. Sensor dilakukan terutama terhadap
karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra
Pujangga Baru adalah sastra intelektual dan nasionalistik. Ciri-ciri sastra
pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sudah menggunakan bahasa
Indonesia, menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual,
emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang), pengaruh barat mulai
masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional, menonjolkan nasionalisme,
romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
Salah satu karya sastra terkenal
dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan
Takdir Alisjahbana. Layar Terkembang merupakan kisah roman antara tiga
muda-mudi, yaitu: Yusuf, Maria, dan Tuti. Berikut ini dapat kita pelajari Roman
Layar Terkembang. Yusuf adalah seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang
menghargai wanita. Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus,
dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian. Tuti adalah guru dan juga
gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan
memperjuangkan kemajuan wanita.
Dalam kisah Layar Terkembang,
Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu, perempuan harus
memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat
besar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, perempuan
dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat. Selain itu, masalah yang
datang harus dihadapi bukan dihindari dengan mencari pelarian, seperti
perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan
dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya sosial.
Di sisi lain, pada Angkatan Pujangga
Baru Amir Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru.” Beliau
diberi gelar tersebut karena mampu menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat
dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah beliau mampu
menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang
lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi dasar dari Indonesia yang
sedang dicitacitakan bersama.
c.
Angkatan
’45
Angkatan ’45 lahir dalam suasana
lingkungan yang sangat memprihatinkan dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme
Jepang dan dilanjutkan dengan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan ’45 antara lain:
terbuka, pengaruh unsur sastra asing lebih luas, corak isi lebih realis,
naturalis, dan individualisme sastrawan lebih menonjol. Puisi yang dianggap
maskot pembaharuan dalam sejarah perpuisian di Indonesia adalah puisi yang
berjudul “ Aku” karya Chairil Anwar. Dalam puisi tersebut, Chairil
menggambarkan pandangan dan semangat hidupnya yang menggebu-gebu,
individualistis, dan revolusioner.
Berikut ini disajikan puisi “Aku” seutuhnya.
Aku
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorangpun kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)
Karya sastra pada masa Angkatan ’45,
antara lain: Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin), Deru
Campur Debu (Chairil Anwar), Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang
Putus (Chairil Anwar) , Pembebasan Pertama (Amal Hamzah), Kata
Hati dan Perbuatan (Trisno Sumardjo).
d.
Angkatan
‘66
Angkatan ’66 ditandai dengan
terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat
menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan yang sangat
beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra beraliran surealis,
arus kesadaran, arketipe, absurd, dan lainnya.
Angkatan ini lahir di antara
anak-anak muda dalam barisan perjuangan. Angkatan ini mendobrak
kemacetan-kemacetan yang disebabkan oleh pemimpin-pemimpin yang salah urus.
Para mahasiswa mengadakan demonstrasi besar-besaran menuntut ditegakkannya
keadilan dan kebenaran.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan
’66 adalah: bercorak perjuangan antitirani, protes politik, anti kezaliman dan
kebatilan, bercorak membela keadilan, mencintai nusa, bangsa, negara dan
persatuan, berontak terhadap ketidakadilan, pembelaan terhadap Pancasila,
berisi protes sosial dan politik. Hal tersebut diungkapkan dalam karya sastra
pada masa Angkatan ’66 antara lain: Pabrik (Putu Wijaya), Ziarah (Iwan
Simatupang), serta Tirani dan Benteng (Taufik Ismail).
Berikut ini disajikan puisi Taufik
Ismail, yang mencerminkan keprihatinannya terhadap situasi negara di masa itu.
Depan Sekretaris Negara
Setelah korban diusung
Tergesa-gesa
Keluar jalanan
Kami semua menyanyi
“ Gugur Bunga”
Perlahan-lahan
Prajurit ini
Membuka baretnya
Air mata tak tertahan
Di puncak gayatri
Menundukkan bendera
Di belakangnya segumpal awan
(Antologi Tirani)
C.
Aliran
Sastra
Kata mazhab atau aliran berasal dari
kata stroming (bahasa Belanda) yang mulai muncul di Indonesia pada zaman
Pujangga Baru. Kata itu bermakna keyakinan yang dianut golongan-golongan
pengarang yang sepaham, ditimbulkan karena menentang paham-paham lama
(Hadimadja,1972:9). Dalam bahasa Inggris, terdapat dua kata yang maknanya
sangat berkaitan dengan aliran, yaitu periods, age, school,
generation dan movements.
Aliran sastra pada dasarnya berupaya
menggambarkan prinsip (pandangan hidup, politik, dll) yang dianut sastrawan
dalam menghasilkan karya sastra. Dengan kata lain, aliran sangat erat
hubungannya dengan sikap/jiwa pengarang dan objek yang dikemukakan dalam
karangannya.
Pada prinsipnya, aliran sastra
dibedakan menjadi dua bagian besar, yakni (1) idealisme, dan (2) materialisme.
Idealisme adalah aliran romantik yang bertolak dari cita-cita yang
dianut oleh penulisnya. Menurut aliran ini, segala sesuatu yang terlihat di
alam ini hanyalah merupakan bayangan dari bayangan abadi yang tidak terduga
oleh pikiran manusia. Aliran idealisme ini dapat dibagi menjadi (a) romantisisme,
(b) simbolik, (c) mistisisme, dan (d) surealisme.
Romantisisme adalah aliran karya sastra yang
sangat mengutamakan perasaan, sehingga objek yang dikemukakan tidak lagi asli,
tetapi telah bertambah dengan unsur perasaan si pengarang. Aliran ini dicirikan
oleh minat pada alam dan cara hidup yang sederhana, minat pada pemandangan
alam, perhatian pada kepercayaan asli, penekanan pada kespontanan dalam
pikiran, tindakan, serta pengungkapan pikiran. Pengikut aliran ini menganggap
imajinasi lebih penting daripada aturan formal dan fakta. Aliran ini kadangkadang
berpadu dengan aliran idealisme dan realisme sehingga timbul aliran romantik
idealisme, dan romantik realisme.
Romantik idealisme adalah aliran kesusastraan yang
mengutamakan perasaan yang melambung tinggi ke dalam fantasi dan cita-cita.
Hasil sastra Angkatan. Pujangga Baru umumnya termasuk aliran ini. Sementara
romantik realism mengutamakan perasaan yang bertolak dari kenyataan (contoh:
puisi-puisi Chairil Anwar dan Asrul Sani).
Simbolik adalah aliran yang muncul sebagai
reaksi atas realisme dan naturalisme. Pengarang berupaya menampilkan pengalaman
batin secara simbolik. Dunia yang secara indrawi dapat kita cerap menunjukkan
suatu dunia rohani yang tersembunyi di belakang dunia indrawi. Aliran ini
selalu menggunakan simbol atau perlambang hewan atau tumbuhan sebagai pelaku
dalam cerita. Contoh karya sastra yang beraliran ini misalnya Tinjaulah
Dunia Sana, Dengarlah Keluhan Pohon Mangga karya Maria Amin dan Kisah
Negara Kambing karya Alex Leo.
Mistisisme adalah aliran kesusastraan yang
bersifat melukiskan hubungan manusia dengan Tuhan. Mistisisme selalu memaparkan
keharuan dan kekaguman si penulis terhadap keagungan Maha Pencipta. Contoh
karya sastra yang beraliran ini adalah sebagaian besar karya Amir Hamzah,
Bahrum Rangkuti, dan J.E.Tatengkeng.
Surealisme adalah aliran karya sastra yang
melukiskan berbagai objek dan tanggapan secara serentak. Karya sastra bercorak
surealis umumnya susah dipahami karena gaya pengucapannya yang melompat-lompat
dan kadang terasa agak kacau. Contoh karya sastra aliran ini misalnya Radio
Masyarakat karya Rosihan Anwar, Merahnya Merah karya Iwan
Simatupang, dan Tumbang karya Trisno Sumardjo.
Materialisme berkeyakinan bahwa segala sesuatu
yang bersifat kenyataan dapat diselidiki dengan akal manusia. Dalam
kesusastraan, aliran ini dapat dibedakan atasrealisme dan naturalisme.
Realisme adalah aliran karya sastra yang
berusaha menggambarkan/ memaparkan/menceritakan sesuatu sebagaimana
kenyataannya. Aliran ini umumnya lebih objektif memandang segala sesuatu (tanpa
mengikutsertakan perasaan). Sebagaimana kita tahu, Plato dalam teori mimetiknya
pernah menyatakan bahwa sastra adalah tiruan kenyataan/ realitas. Berangkat
dari inilah kemudian berkembang aliran-aliran, seperti: naturalisme, dan
determinisme.
Realisme sosialis adalah aliran karya sastra secara
realis yang digunakan pengarang untuk mencapai cita-cita perjuangan sosialis.
Naturalisme adalah aliran karya sastra yang
ingin menggambarkan realitas secara jujur bahkan cenderung berlebihan dan
terkesan jorok. Aliran ini berkembang dari realisme. Ada tiga paham yang
berkembang dari aliran realisme (1) saintisme (hanya sains yang dapat
menghasilkan pengetahuan yang benar), (2) positivisme ( menolak metafisika,
hanya pancaindra kita berpijak pada kenyataan), dan (3) determinisme (segala
sesuatu sudah ditentukan oleh sebab musabab tertentu).
Impresionisme adalah aliran kesusastraan yang
memusatkan perhatian pada apa yang terjadi dalam batin tokoh utama.
Impresionisme lebih mengutamakan pemberian kesan/pengaruh kepada perasaan
daripada kenyataan atau keadaan yang sebenarnya. Beberapa pengarang Pujangga
Baru memperlihatkan impresionisme dalam beberapa karyanya.
D.
Genre
Sastra
Karya sastra menurut genre atau
jenisnya terbagi atas puisi, prosa, dan drama. Pembagian tersebut semata-mata
didasarkan atas perbedaan bentuk fisiknya saja, bukan substansinya. Substansi
karya sastra apa pun bentuknya tetap sama, yakni pengalaman kemanusiaan
dalam segala wujud dan dimensinya. Pengenalan terhadap ciri-ciri bentuk
sastra ini memudahkan proses pemahaman terhadap maknanya. Demikian pula
komponen–komponen yang turut membangun karya sastra tersebut. Berikut ini
dipaparkan ketiga bentuk karya sastra tersebut.
1.
Puisi
Puisi adalah karya sastra yang khas
penggunaan bahasanya dan memuat pengalaman yang disusun secara khas pula.
Pengalaman batin yang terkandung dalam puisi disusun dari peristiwa yang telah
diberi makna dan ditafsirkan secara estetik.
Susunan kata dalam puisi relatif
lebih padat dibandingkan prosa. Kehadiran kata-kata dan ungkapan dalam puisi
diperhitungkan dari berbagai segi: makna, citraan, rima, ritme, nada, rasa, dan
jangkauan simboliknya. Sebagai alat, katakata dalam puisi harus mampu diboboti
oleh gagasan yang ingin diutarakan penyair. Di samping itu, kata-kata puisi
harus pula mampu membangkitkan tanggapan rasa pembacanya. Kebebasan penyair
untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi itu dalam istilah kesusastraan
dikenal sebagai lisentia poetica. Istilah ini menyiratkan adanya semacam
kewenangan bagi penyair untuk mematuhi atau menyimpangi norma ketatabahasaan.
Pematuhan dan penyimpangan ini haruslah mempertimbangkan tercapainya
kepuitisannya.
Dari segi bentuknya kita mengenal
puisi terikat dan puisi bebas. Puisi terikat dapat dikatakan sebagai puisi
lama, puisi yang diciptakan oleh masyarakat lama, seperti pantun, syair,dan
gurindam.
Puisi baru, puisi bebas atau yang
lebih dikenal sebagai puisi modern yang mulai muncul pada masa Pujangga Baru
dan dipopulerkan oleh Angkatan 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar. Puisi
modern dilahirkan dalam semangat mencari kebebasan pengucapan pribadi. Puisi
modern dapat dianggap sebagai bentuk pengucapan puisi yang tidak menginginkan
pola-pola estetika yang kaku atau patokan-patokan yang membelenggu kebebasan
jiwa penyair. Dengan demikian, nilai puisi modern dapat dilihat pada keutuhan,
keselarasan, dan kepadatan ucapan, dan bukan terletak pada jumlah bait dan
larik yang membangunnya.
Sebagai sistem tanda, karya sastra
puisi dapat disikapi sebagai salah satu ragam penggunaan bahasa dalam kegiatan
komunikasi. Akan tetapi, bentuk komunikasi dalam sastra juga bersifat khas
karena :
- tidak mempunyai bentuk hubungan timbal balik antara penutur dan penanggap secara langsung,
- pemahaman pesannya telah mengalami otonomisasi karena pemahaman pesan tidak terjadi secara otomatis, dan
- berbeda dengan komunikasi lisan, karena komunikasi sastra tidak lagi terikat oleh konteks hubungan langsung, misalnya tempat, waktu, dan peristiwa.
Untuk mengapresiasi suatu puisi
seorang pembaca harus menciptakan kontak, dalam arti membaca teks sastra dan
melakukan penghayatan. Kontak ini bisa terjadi apabila pembaca memahami kode
kebahasaan ataupun sistem tanda dalam puisi yang diapresiasi. Hanya melalui hubungan
yang demikian komunikasi dapat berlangsung dan karya sastra mendapatkan
maknanya.
Gejala komunikasi seperti di atas
dapat dihubungkan dengan sejumlah fungsi bahasa seperti fungsi (1) emotif, (2)
referensial, (3) puitik, (4) fatis, (5) metalingual, dan (6) konatif (Jacobson,
dalam Teeuw, 1984).
Fungsi emotif mengacu pada
fungsi bahasa untuk menggambarkan, membentuk dan mengekspresikan gagasan,
perasaan, pendapat, dan sikap penyair.
Fungsi referensial mengacu
pada fungsi bahasa untuk menggambarkan objek, peristiwa, benda ataupun
kenyataan tertentu sejalan dengan gagasan, perasaan, pendapat, dan sikap yang
kita sampaikan, contoh dari pernyataan tersebut, misalnya dalam pernyataan Aku
ini binatang jalang di tengah kumpulan terbuang.
Fungsi puitik yakni fungsi
bahasa untuk menggambarkan makna sebagaimana terdapat dalam lambang kebahasaan
itu sendiri. Untuk memahami makna binatang jalang misalnya, pembaca
dapat menggambarkannya sebagai (mahluk bernyawa, kuat, liar, tidak terikat,
tidak tergantung pada yang lain) dan sebagainya sebagai pemaknaan dari
binatang jalang.
Fungsi fatis, mengacu pada
konsepsi bahwa bentuk kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi juga bisa
digunakan untuk fungsi mempertahankan hubungan. Hal ini berguna untuk
menciptakan kesan keakraban ataupun menciptakan bentuk-bentuk hubungan
tertentu. Contoh dari pernyataan di atas misalnya, ketika kita membawa
keranjang belanjaan, kita mungkin mendapat pertanyaan, “Dari pasar?” Kita
tentunya hanya menjawab “Ya!” karena ujaran tersebut hanya untuk
menciptakan keakraban atau hubungan sosial dan tidak mempunyai gagasan atau
konsepsi apapun. Di dalam karya sastra penggunaan bahasa yang berkaitan dengan
fungsi fatis bisa juga muncul apabila penggunaan bahasa itu hanya
sekedar hiasan, sarana pemandu bunyi, atau sekedar kelayakan saja.
Fungsi konatif berisi
konsepsi bahwa peristiwa bahasa dalam komunikasi berfungsi menimbulkan efek,
imbauan, ataupun dorongan tertentu penanggapnya. Contoh dari pernyataan di
atas, misal ketika kita membaca tulisan “Awas jalan licin” mungkin
secara refleks kita akan mengurangi kecepatan dalam berkendaraan atau berjalan.
Dalam membaca karya sastra, fungsi konatif itu berkaitan dengan efek pemahaman,
misalnya, tentang nilai kehidupan yang mendorong kesadaran batin pembaca untuk
melakukan ataupun menghayati pemahaman yang diperoleh itu dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
kita pahami bahwa puisi sebagai suatu struktur makro keberadaannya terkait
dengan penyair, konteks, gagasan, sistem tanda yang terwujud dalam bentuk teks
yang menjadi sarana kontak dengan pembaca (penerima). Selain komponen makro
kita juga mendapatkan komponen mikro, yakni komponen yang membentuk puisi
sebagai teks secara internal. Jelasnya suatu puisi akan memanfaatkan (1) bunyi
bahasa, (2) katakata atau diksi, dan (3) penggunaan gaya bahasa untuk
menciptakan kontak dengan pembacanya.
Unsur keindahan bunyi dalam puisi
juga ditunjang oleh penggunaan unsur bunyi yang juga mempunyai berbagai macam
karakteristik, seperti asonansi, disonansi, aliterasi, rima, dan irama.
Untuk memahami makna puisi, kita
akan menemukan makna literal, pengertian tersirat, dan nilai kehidupan. Makna
literal merupakan makna yang digambarkan oleh kata-kata dalam puisi seperti
lazim dipersepsikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika membaca larik puisi Aku
ini binatang jalang, misalnya, kata aku akan memberikan gambaran
seseorang sebagai persona, misalnya penyair. Sementara kata binatang jalang membentuk
gambaran dari sesuatu yang disebut binatang jalang. Dalam kesadaran
batin pembaca mungkin akan muncul gambaran hewan yang disebut singa, harimau,
atau hewan yang dapat dikategorikan sebagai binatang jalang.
Larik puisi Aku ini binatang
jalang, tentu saja tidak memuat informasi ataupun pengertian bahwa ’aku
ini merupakan hewan harimau”. Gambaran bahwa aku merupakan binatang jalang
hanya merupakan perbandingan atau metafora aku layaknya atau bagaikan
binatang jalang. Dengan kata lain, menggambarkan aku seperti singa atau harimau
memuat pengertian yang tersirat. Guna memahami pengertian tersiratnya kita
mestilah memahami gambaran ciri singa ataupun harimau yang layak
diperbandingkan atau dihubungkan dengan ciri yang tedapat pada manusia. Dengan
begitu, kita tidak akan mengangkat ciri singa yang mempunyai kaki empat, suka makan
daging mentah, telanjang, tetapi mengambil ciri singa yang menggambarkan
kekuatan, keberanian, berkeliaran, dan sebagainya.
Untuk memahami nilai kehidupan tentu
saja kita harus memahami makna yang terdapat dalam puisi tersebut. Apabila hal
tersebut dilaksanakan dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari, manfaat itu
berlaku juga bagi kehidupan manusia pada umumnya. Jadi jelas pemahaman
nilai-nilai kehidupan memang benarbenar memiliki relevansi dengan kenyataan
kehidupan sehari-hari.
2.
Prosa
Prosa merupakan jenis karya sastra
dengan ciri-ciri antara lain (1) bentuknya yang bersifat penguraian, (2) adanya
satuan-satuan makna dalam wujud alineaalinea, dan (3) penggunaan bahasa yang
cenderung longgar. Bentuk ini merupakan rangkaian peristiwa imajinatif yang
diperankan oleh pelaku-pelaku cerita, dengan latar dan tahapan tertentu yang
sering disebut dengan cerita rekaan. Bentuk ini terbagi atas kategori cerita
pendek, novelet, dan novel.
Sebagai cerita rekaan, ia juga harus
memiliki unsur-unsur, seperti pengarang, isi cerita, bahasa dan unsur-unsur
fiksi. Unsur-unsur cerita rekaan antara lain sebagai berikut (a) tokoh dan
penokohan, (b) alur, (c) latar, (d) tema, (e) amanat, (f) sudut pandang, (g)
dan gaya bahasa, yang semuanya saling berhubungan sehingga membentuk satu
cerita yang utuh.
Pembagian bentuk prosa seperti yang
dikemukakan oleh H.B.Yassin adalah cerpen, novel, dan roman. Menurutnya, cerpen
adalah cerita fiksi yang habis dibaca dalam sekali duduk. Novel adalah cerita
fiksi yang mengisahkan perjalanan hidup para tokohnya dengan segala liku-liku
perjalanan dan perubahan nasibnya. sedangkan roman adalah cerita fiksi yang
mengisahkan tokoh-tokohnya sejak kanak-kanak sampai tutup usia. Jadi, panjang
pendeknya cerita tidak dapat dijadikan patokan. Namun, sekarang ini istilah
roman sudah jarang digunakan karena dianggap sama dengan novel.
Cerpen biasanya memiliki alur
tunggal, pelaku terbatas (jumlahnya sedikit), dan mencakup peristiwa yang
terbatas pula. Kualitas tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh.
Karena serba dibatasi, tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan
karakternya. Artinya, karakter tokoh langsung ditunjukkan oleh pengarangnya
melalui narasi, deskripsi, atau dialog. Di samping itu, cerita pendek biasanya
mencakup rentang waktu cerita yang pendek pula, misalnya semalam, sehari,
seminggu, sebulan, atau setahun.
Novel memiliki durasi cerita yang
lebih panjang dibandingkan dengan cerpen. Novel memiliki peluang yang cukup
untuk mengeksplorasi karakter tokohnya dalam rentang waktu yang cukup panjang
dan kronologi cerita yang bervariasi (ganda). Novel memungkinkan kita untuk
menangkap perkembangan kejiwaan tokoh secara lebih komprehensif dan
memungkinkan adanya penyajian secara panjang lebar mengenai permasalahan
manusia. Itulah sebabnya, permasalahan yang diangkat menjadi tema-tema novel
umumnya jauh lebih kompleks dan rumit bila dibandingkan dengan cerpen.
Permasalahan hidup manusia yang menjadi sumber inspirasi penulis sangatlah
rumit dan kompleks. Jika dipetakan pemasalahan itu meliputi hubungan
antarmanusia dengan Tuhan, manusia dengan alam semesta, manusia dengan
masyarakat, dan manusia dengan dirinya sendiri. Peranan tokoh tidak statis,
tetapi bergerak dalam pergerakan waktu. Keterbatasan dan keleluasaan juga
membawa konsekuensi pada rincian-rincian yang sering menjadi bumbu cerita.
Demikianlah sebuah karya sastra,
sebagaimana rumah, juga dibangun oleh unsur-unsur yang mendukung keberadaannya.
Unsur-unsur pembangun karya sastra lazim disebut dengan unsur intrinsik dan
unsur ekstrinsik. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1985) yang
dimaksud dengan unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang berasal dari dalam
karya sastra itu sendiri, seperti: tema, tokoh, alur, latar, sudut pandang,
amanat, dan gaya bahasa. Unsur-unsur ini harus ada karena akan menjadi kerangka
dan isi karya tersebut. Sementara itu, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang
berasal dari luar karya sastra, misalnya sosial, budaya, ekonomi, politik,
agama, dan filsafat. Faktor ekstrinsik tidak menjadi penentu yang menggoyahkan
karya sastra. Akan tetapi, bagi pembaca, hal tersebut tetap penting untuk
diketahui karena akan membantu pemahaman makna karya sastra, mengingat tidak
ada karya sastra yang lahir dari kekosongan budaya.
3.
Drama
Pada dasarnya drama tidak jauh
berbeda dengan karya prosa fiksi. Kesamaan itu berkaitan dengan aspek
kesastraan yang terkandung di dalamnya. Namun, ada perbedaan esensial yang
membedakan antara karya drama dan karya prosa fiksi, yakni pada tujuannya.
Tujuan utama penulisan naskah drama adalah untuk dipentaskan. Semi (1988)
menyatakan bahwa drama adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang
dipentaskan.
Jika dicermati secara saksama, drama memiliki
dua aspek esensial, yakni aspek cerita dan aspek pementasan yang berhubungan
dengan seni lakon atau teater. Drama sebenarnya memiliki tiga dimensi, yakni
(1) sastra, (2) gerakan, dan (3) ujaran. Oleh karena itu, naskah drama tidak
disusun khusus untuk dibaca seperti cerpen atau novel, tetapi lebih daripada
itu dalam penciptaan naskah drama sudah dipertimbangkan aspek-aspek
pementasannya. Dalam hampir setiap naskah drama selalu ditemukan narasi,
dialog, dan arahan tentang petunjuk lakuan atau akting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar