Sabtu, 17 Maret 2012
DASAR-DASAR PEWARISAN MENDEL
- Hukum Segregasi
- Hukum Pemilihan Bebas
- Formulasi Matematika
- Silang Balik dan Silang Uji
- Modifikasi Nisbah Mendel
- Teori Peluang
- Uji X2
- Alel Ganda
DASAR-DASAR PEWARISAN MENDEL
Seorang biarawan dari Austria, bernama Gregor Johann Mendel,
menjelang akhir abad ke-19 melakukan serangkaian percobaan persilangan
pada kacang ercis (Pisum sativum). Dari percobaan yang
dilakukannya selama bertahun-tahun tersebut, Mendel berhasil menemukan
prinsip-prinsip pewarisan sifat, yang kemudian menjadi landasan utama
bagi perkembangan genetika sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan. Berkat
karyanya inilah, Mendel diakui sebagai Bapak Genetika.
Mendel memilih kacang ercis sebagai bahan percobaannya,
terutama karena tanaman ini memiliki beberapa pasang sifat yang sangat
mencolok perbedaannya, misalnya warna bunganya mudah sekali untuk
dibedakan antara yang ungu dan yang putih. Selain itu, kacang ercis
merupakan tanaman yang dapat menyerbuk sendiri, dan dengan bantuan
manusia, dapat juga menyerbuk silang. Hal ini disebabkan oleh adanya
bunga sempurna, yaitu bunga yang mempunyai alat kelamin jantan dan
betina. Pertimbangan lainnya adalah bahwa kacang ercis memiliki daur
hidup yang relatif pendek, serta mudah untuk ditumbuhkan dan dipelihara.
Mendel juga beruntung, karena secara kebetulan kacang ercis yang
digunakannya merupakan tanaman diploid (mempunyai dua perangkat
kromosom). Seandainya ia menggunakan organisme poliploid, maka ia tidak
akan memperoleh hasil persilangan yang sederhana dan mudah untuk
dianalisis.
Pada salah satu percobaannya Mendel menyilangkan tanaman
kacang ercis yang tinggi dengan yang pendek. Tanaman yang dipilih
adalah tanaman galur murni, yaitu tanaman yang kalau menyerbuk sendiri
tidak akan menghasilkan tanaman yang berbeda dengannya. Dalam hal ini
tanaman tinggi akan tetap menghasilkan tanaman tinggi. Begitu juga
tanaman pendek akan selalu menghasilkan tanaman pendek.
Dengan menyilangkan galur murni tinggi dengan galur
murni pendek, Mendel mendapatkan tanaman yang semuanya tinggi.
Selanjutnya, tanaman tinggi hasil persilangan ini dibiarkan menyerbuk
sendiri. Ternyata keturunannya memperlihatkan nisbah (perbandingan)
tanaman tinggi terhadap tanaman pendek sebesar 3 : 1. Secara skema,
percobaan Mendel dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut.
DD dd
Gamet D d
F1 : Tinggi
Dd
Menyerbuk sendiri (Dd x Dd)
F2 :
Gamet Gamet D d D DD (tinggi) Dd (tinggi) d Dd (tinggi) dd (pendek)
Tinggi (D-) : pendek (dd) = 3 : 1
DD : Dd : dd = 1 : 2 : 1
Gambar 2.1. Diagram persilangan monohibrid untuk sifat tinggi tanaman
Individu tinggi dan pendek yang digunakan pada awal persilangan
dikatakan sebagai tetua (parental), disingkat P. Hasil persilangannya
merupakan keturunan (filial) generasi pertama, disingkat F1. Persilangan sesama individu F1 menghasilkan keturunan generasi ke dua, disingkat F2.
Tanaman tinggi pada generasi P dilambangkan dengan DD, sedang tanaman
pendek dd. Sementara itu, tanaman tinggi yang diperoleh pada generasi F1 dilambangkan dengan Dd.
Pada diagram persilangan monohibrid tersebut di atas, nampak bahwa untuk menghasilkan individu Dd pada F1,
maka baik DD maupun dd pada generasi P membentuk gamet (sel kelamin).
Individu DD membentuk gamet D, sedang individu dd membentuk gamet d.
Dengan demikian, individu Dd pada F1 merupakan hasil
penggabungan kedua gamet tersebut. Begitu pula halnya, ketika sesama
individu Dd ini melakukan penyerbukan sendiri untuk menghasilkan F2,
maka masing-masing akan membentuk gamet terlebih dahulu. Gamet yang
dihasilkan oleh individu Dd ada dua macam, yaitu D dan d. Selanjutnya,
dari kombinasi gamet-gamet tersebut diperoleh individu-individu generasi
F2 dengan nisbah DD : Dd : dd = 1 : 2 : 1. Jika DD dan dd
dikelompokkan menjadi satu (karena sama-sama melambangkan individu
tinggi), maka nisbah tersebut menjadi D- : dd = 3 : 1.
Dari diagram itu pula dapat dilihat bahwa pewarisan suatu sifat
ditentukan oleh pewarisan materi tertentu, yang dalam contoh tersebut
dilambangkan dengan D atau d. Mendel menyebut materi yang diwariskan
ini sebagai faktor keturunan (herediter), yang pada perkembangan berikutnya hingga sekarang dinamakan gen.
Terminologi
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui untuk menjelaskan
prinsip-prinsip pewarisan sifat. Seperti telah disebutkan di atas, P
adalah individu tetua, F1 adalah keturunan generasi pertama, dan F2 adalah keturunan generasi ke dua. Selanjutnya, gen D dikatakan sebagai gen atau alel dominan, sedang gen d merupakan gen atau alel resesif.
Alel adalah bentuk alternatif suatu gen yang terdapat pada lokus
(tempat) tertentu. Gen D dikatakan dominan terhadap gen d, karena
ekpresi gen D akan menutupi ekspresi gen d jika keduanya terdapat
bersama-sama dalam satu individu (Dd). Dengan demikian, gen dominan
adalah gen yang ekspresinya menutupi ekspresi alelnya. Sebaliknya, gen
resesif adalah gen yang ekspresinya ditutupi oleh ekspresi alelnya.
Individu Dd dinamakan individu heterozigot, sedang individu DD dan dd masing-masing disebut sebagai individu homozigot dominan dan homozigot resesif. Sifat-sifat yang dapat langsung diamati pada individu-individu tersebut, yakni tinggi atau pendek, dinamakan fenotipe.
Jadi, fenotipe adalah ekspresi gen yang langsung dapat diamati sebagai
suatu sifat pada suatu individu. Sementara itu, susunan genetik yang
mendasari pemunculan suatu sifat dinamakan genotipe.
Pada contoh tersebut di atas, fenotipe tinggi (D-) dapat dihasilkan dari
genotipe DD atau Dd, sedang fenotipe pendek (dd) hanya dihasilkan dari
genotipe dd. Nampak bahwa pada individu homozigot resesif, lambang
untuk fenotipe sama dengan lambang untuk genotipe. .
Hukum Segregasi
Sebelum melakukan suatu persilangan, setiap individu menghasilkan
gamet-gamet yang kandungan gennya separuh dari kandungan gen pada
individu. Sebagai contoh, individu DD akan membentuk gamet D, dan
individu dd akan membentuk gamet d. Pada individu Dd, yang menghasilkan
gamet D dan gamet d, akan terlihat bahwa gen D dan gen d akan
dipisahkan (disegregasi) ke dalam gamet-gamet yang terbentuk tersebut.
Prinsip inilah yang kemudian dikenal sebagai hukum segregasi atau hukum
Mendel I.
Hukum Segregasi :
Pada waktu berlangsung pembentukan gamet, tiap pasang gen akan disegregasi ke dalam masing-masing gamet yang terbentuk.
Hukum Pemilihan Bebas
Persilangan yang hanya menyangkut pola pewarisan satu macam sifat
seperti yang dilakukan oleh Mendel tersebut di atas dinamakan
persilangan monohibrid. Mendel melakukan persilangan
monohibrid untuk enam macam sifat lainnya, yaitu warna bunga
(ungu-putih), warna kotiledon (hijau-kuning), warna biji (hijau-kuning),
bentuk polong (rata-berlekuk), permukaan biji (halus-keriput), dan
letak bunga (aksial-terminal).
Selain persilangan monohibrid, Mendel juga melakukan persilangan dihibrid,
yaitu persilangan yang melibatkan pola perwarisan dua macam sifat
seketika. Salah satu di antaranya adalah persilangan galur murni kedelai
berbiji kuning-halus dengan galur murni berbiji hijau-keriput. Hasilnya
berupa tanaman kedelai generasi F1 yang semuanya berbiji kuning-halus. Ketika tanaman F1 ini dibiarkan menyerbuk sendiri, maka diperoleh empat macam individu generasi F2, masing-masing berbiji kuning-halus, kuning-keriput, hijau-halus, dan hijau-keriput dengan nisbah 9 : 3 : 3 : 1.
Jika gen yang menyebabkan biji berwarna kuning dan hijau
masing-masing adalah gen G dan g, sedang gen yang menyebabkan biji halus
dan keriput masing-masing adalah gen W dan gen w, maka persilangan
dihibrid terdsebut dapat digambarkan secara skema seperti pada diagram
berikut ini.
P : ♀ Kuning, halus x Hijau, keriput ♂
GGWW ggww
Gamet GW gw
F1 : Kuning, halus
GgWw
Menyerbuk sendiri (GgWw x GgWw )
F2 :
Gamet ♂ Gamet ♀ | GW | Gw | gW | gw |
GW | GGWW (kuning,halus) | GGWw (kuning,halus) | GgWW (kuning,halus) | GgWw (kuning,halus) |
Gw | GGWw (kuning,halus) | GGww (kuning,keriput) | GgWw (kuning,halus) | Ggww (kuning,keriput) |
gW | GgWW (kuning,halus) | GgWw (kuning,halus) | ggWW (hijau,halus) | ggWw (hijau,halus) |
gw | GgWw (kuning,halus) | Ggww (kuning,keriput) | ggWw (hijau,halus) | ggww (hijau,keriput) |
Gambar 2.2. Diagram persilangan dihibrid untuk sifat warna dan bentuk biji
Dari diagram persilangan dihibrid tersebut di atas dapat dilihat bahwa fenotipe F2 memiliki
nisbah 9 : 3 : 3 : 1 sebagai akibat terjadinya segregasi gen G dan W
secara independen. Dengan demikian, gamet-gamet yang terbentuk dapat
mengandung kombinasi gen dominan dengan gen dominan (GW), gen dominan
dengan gen resesif (Gw dan gW), serta gen resesif dengan gen resesif
(gw). Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai hukum pemilihan bebas (the law of independent assortment) atau hukum Mendel II.
Hukum Pemilihan Bebas :
Segregasi suatu pasangan gen tidak bergantung kepada segregasi pasangan gen lainnya, sehingga di dalam gamet-gamet yang terbentuk akan terjadi pemilihan kombinasi gen-gen secara bebas.
Diagram kombinasi gamet ♂ dan gamet ♀ dalam menghasilkan individu generasi F2 seperti
pada Gambar 2.2 dinamakan diagram Punnett. Ada cara lain yang dapat
digunakan untuk menentukan kombinasi gamet pada individu generasi F2, yaitu menggunakan diagram anak garpu (fork line).
Cara ini didasarkan pada perhitungan matematika bahwa persilangan
dihibrid merupakan dua kali persilangan monohibrid. Untuk contoh
persilangan sesama individu GgWw, diagram anak garpunya adalah sebagai
berikut.
Gg x Gg Ww x Ww
3 W- 9 G-W- (kuning, halus)
3 G- 1 ww 3 G-ww (kuning, keriput)
3 W- 3 ggW- (hijau, halus)
1 gg 1 ww 1 ggww (hijau, keriput)
Gambar 2.3. Diagram anak garpu pada persilangan dihibrid
Ternyata penentuan nisbah fenotipe F2 menggunakan diagram
anak garpu dapat dilakukan dengan lebih cepat dan dengan risiko
kekeliruan yang lebih kecil daripada penggunaan diagram Punnett.
Kelebihan cara diagram anak garpu ini akan lebih terasa apabila
persilangan yang dilakukan melibatkan lebih dari dua pasang gen
(trihibrid, tetrahibrid,dan seterusnya) atau pada
persilangan-persilangan di antara individu yang genotipenya tidak sama.
Sebagai contoh, hasil persilangan antara AaBbcc dan aaBbCc akan lebih
mudah diketahui nisbah fenotipe dan genotipenya apabila digunakan cara
diagram anak garpu, yaitu
Aa x aa Bb x Bb cc x Cc
1 C- 3 A-B-C-
3 B- 1 cc 3 A-B-cc
1 A- 1 bb 1C- 1 A-bbC-
1 cc 1 A-bbcc
1 C- 3 aaB-C-
3 B- 1 cc 3 aaB-cc
1 aa 1 bb 1 C- 1 aabbC-
1 cc 1 aabbcc
(a)
Aa x aa Bb x Bb cc x Cc
1 Cc 1 AaBBCc
1 BB 1 cc 1 AaBBcc
1 Cc 2 AaBbCc
1 Aa 2 Bb 1 cc 2 AaBbcc
1 Cc 1 AabbCc
1 bb 1 cc 1 Aabbcc
1 BB 1 Cc 1 aaBBCc
1 cc 1 aaBBcc
1 aa 2 Bb 1 Cc 2 aaBbCc
1 cc 2 aaBbcc
1 bb 1 Cc 1 aabbCc
1 cc 1 aabbcc
(b)
Gambar 2.4. Contoh penggunaan diagram anak garpu
(a) Penentuan nisbah fenotipe
(b) Penentuan nisbah genotipe
Formulasi matematika pada berbagai jenis persilangan
Individu F1 pada suatu persilangan monohibrid, misalnya
Aa, akan menghasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a. Gamet-gamet ini,
baik dari individu jantan maupun betina, akan bergabung menghasilkan
empat individu F2 yang dapat dikelompokkan menjadi dua macam fenotipe (A- dan aa) atau tiga macam genotipe (AA, Aa, dan aa).
Sementara itu, individu F1 pada persilangan dihibrid,
misalnya AaBb, akan membentuk empat macam gamet, masing-masing AB,Ab,
aB, dan ab. Selanjutnya pada generasi F2 akan diperoleh 16 individu yang
terdiri atas empat macam fenotipe (A-B-, A-bb, aaB-, dan aabb) atau
sembilan macam genotipe (AABB, AABb, Aabb, AaBB, AaBb, Aabb, aaBB, aaBb,
dan aabb).
Dari angka-angka tersebut akan terlihat adanya hubungan matematika
antara jenis persilangan (banyaknya pasangan gen), macam gamet F1, jumlah individu F2, serta macam fenotipe dan genotipe F2.
Hubungan matematika akan diperoleh pula pada persilangan-persilangan
yang melibatkan pasangan gen yang lebih banyak (trihibrid, tetrahibrid,
dan seterusnya), sehingga secara ringkas dapat ditentukan formulasi
matematika seperti pada tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1. Formulasi matematika pada berbagai persilangan Persilangan | Macam gamet F1 | Jumlah individu F2 | Macam fenotipe F2 | Macam genotipe F2 | Nisbah fenotipe F2 |
monohibrid | 2 | 4 | 2 | 3 | 3 : 1 |
dihibrid | 4 | 16 | 4 | 9 | 9 : 3 : 3 : 1 |
trihibrid | 8 | 64 | 8 | 27 | 27 : 9 : 9 : 9 : 3 : 3 : 3 : 1 |
n hibrid | 2n | 4n | 2n | 3n | ( 3 : 1 )n |
Pada kolom terakhir dapat dilihat adanya formulasi untuk nisbah fenotipe F2. Kalau angka-angka pada nisbah 3 : 1 dijumlahkan lalu dikuadratkan, maka akan didapatkan ( 3 + 1 )2 = 32 + 2.3.1 + 12
= 9 + 3 + 3 + 1, yang tidak lain merupakan angka-angka pada nisbah
hasil persilangan dihibrid. Demikian pula jika dilakukan
pemangkattigaan, maka akan diperoleh ( 3 + 1 )3 = 33 + 3.32.11 + 3.31.12+ 13 = 27 + 9 + 9 + 9 + 3 + 3 + 3 + 1, yang merupakan angka-angka pada nisbah hasil persilangan trihibrid.
Silang balik (back cross) dan silang uji (test cross)
Silang balik ialah persilangan suatu individu dengan
salah satu tetuanya. Sebagai contoh, individu Aa hasil persilangan
antara AA dan aa dapat disilangbalikkan, baik dengan AA maupun aa.
Silang balik antara Aa dan AA akan menghasilkan satu macam fenotipe,
yaitu A-, atau dua macam genotipe, yaitu AA dan Aa dengan nisbah 1 : 1.
Sementara itu, silang balik antara Aa dan aa akan menghasilkan dua macam
fenotipe, yaitu A- dan aa dengan nisbah 1 : 1, atau dua macam
genotipe, yaitu Aa dan aa dengan nisbah 1 : 1.
Manfaat praktis silang balik adalah untuk memasukkan gen tertentu
yang diinginkan ke dalam suatu individu. Melalui silang balik yang
dilakukan berulang-ulang, dapat dimungkinkan terjadinya pemisahan
gen-gen tertentu yang terletak pada satu kromosom sebagai akibat
berlangsungnya peristiwa pindah silang (lihat juga Bab V). Hal
ini banyak diterapkan di bidang pertanian, misalnya untuk memisahkan gen
yang mengatur daya simpan beras dan gen yang menyebabkan rasa nasi
kurang enak. Dengan memisahkan dua gen yang terletak pada satu kromosom
ini, dapat diperoleh varietas padi yang berasnya tahan simpan dan rasa
nasinya enak.
Apabila suatu silang balik dilakukan dengan tetuanya
yang homozigot resesif, maka silang balik semacam ini disebut juga
silang uji. Akan tetapi, silang uji sebenarnya tidak harus terjadi
antara suatu individu dan tetuanya yang homozigot resesif. Pada
prinsipnya semua persilangan yang melibatkan individu homozigot resesif
(baik tetua maupun bukan tetua) dinamakan silang uji.
Istilah silang uji digunakan untuk menunjukkan bahwa
persilangan semacam ini dapat menentukan genotipe suatu individu.
Sebagai contoh, suatu tanaman yang fenotipenya tinggi (D-) dapat
ditentukan genotipenya (DD atau Dd) melalui silang uji dengan tanaman
homozigot resesif (dd). Kemungkinan hasilnya dapat dilihat pada diagram
berikut ini.
DD x dd Dd x dd
Dd (tinggi) 1 Dd (tinggi)
1 dd (pendek)
Gambar 2.5. Contoh diagram silang uji
Jadi, apabila tanaman tinggi yang disilang uji adalah homozigot (DD),
maka hasilnya berupa satu macam fenotipe, yaitu tanaman tinggi.
Sebaliknya, jika tanaman tersebut heterozigot (Dd), maka hasilnya ada
dua macam fenotipe, yaitu tanaman tinggi dan pendek dengan nisbah 1 : 1.
Modifikasi Nisbah Mendel
Percobaan-percobaan
persilangan sering kali memberikan hasil yang seakan-akan menyimpang
dari hukum Mendel. Dalam hal ini tampak bahwa nisbah fenotipe yang
diperoleh mengalami modifikasi dari nisbah yang seharusnya sebagai
akibat terjadinya aksi gen tertentu. Secara garis besar modifikasi
nisbah Mendel dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu modifikasi
nisbah 3 : 1 dan modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1.
Modifikasi Nisbah 3 : 1
Ada tiga peristiwa yang menyebabkan terjadinya modifikasi nisbah 3 : 1, yaitu semi dominansi, kodominansi, dan gen letal.
Semi dominansi
Peristiwa semi dominansi terjadi apabila suatu gen dominan tidak
menutupi pengaruh alel resesifnya dengan sempurna, sehingga pada
individu heterozigot akan muncul sifat antara (intermedier).
Dengan demikian, individu heterozigot akan memiliki fenotipe yang
berbeda dengan fenotipe individu homozigot dominan. Akibatnya, pada
generasi F2 tidak didapatkan nisbah fenotipe 3 : 1, tetapi menjadi 1 : 2 : 1 seperti halnya nisbah genotipe.
Contoh peristiwa semi dominansi dapat dilihat pada pewarisan warna bunga pada tanaman bunga pukul empat (Mirabilis jalapa).
Gen yang mengatur warna bunga pada tanaman ini adalah M, yang
menyebabkan bunga berwarna merah, dan gen m, yang menyebabkan bunga
berwarna putih. Gen M tidak dominan sempurna terhadap gen m, sehingga
warna bunga pada individu Mm bukannya merah, melainkan merah muda. Oleh
karena itu, hasil persilangan sesama genotipe Mm akan menghasilkan
generasi F2 dengan nisbah fenotipe merah : merah muda : putih = 1 : 2 : 1.
Kodominansi
Seperti halnya semi dominansi, peristiwa kodominansi akan menghasilkan nisbah fenotipe 1 : 2 : 1 pada generasi F2.
Bedanya, kodominansi tidak memunculkan sifat antara pada individu
heterozigot, tetapi menghasilkan sifat yang merupakan hasil ekspresi
masing-masing alel. Dengan perkataan lain, kedua alel akan sama-sama
diekspresikan dan tidak saling menutupi.
Peristiwa kodominansi dapat dilihat misalnya pada pewarisan golongan
darah sistem ABO pada manusia (lihat juga bagian pada bab ini tentang
beberapa contoh alel ganda). Gen IA dan IB
masing-masing menyebabkan terbentuknya antigen A dan antigen B di dalam
eritrosit individu yang memilikinya. Pada individu dengan golongan darah
AB (bergenotipe IAIB) akan terdapat baik antigen A maupun antigen B di dalam eritrositnya. Artinya, gen IA dan IB sama-sama diekspresikan pada individu heterozigot tersebut.
Perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang
masing-masing memiliki golongan darah AB dapat digambarkan seperti pada
diagram berikut ini.
1 IAIA (golongan darah A)
2 IAIB (golongan darah AB)
1 IBIB (golongan darah B)
Golongan darah A : AB : B = 1 : 2 : 1
Gambar 2.6. Diagram persilangan sesama individu bergolongan darah AB
Gen letal
Gen letal ialah gen yang dapat mengakibatkan kematian
pada individu homozigot. Kematian ini dapat terjadi pada masa embrio
atau beberapa saat setelah kelahiran. Akan tetapi, adakalanya pula
terdapat sifat subletal, yang menyebabkan kematian pada waktu individu
yang bersangkutan menjelang dewasa.
Ada dua macam gen letal, yaitu gen letal dominan dan gen
letal resesif. Gen letal dominan dalam keadaan heterozigot dapat
menimbulkan efek subletal atau kelainan fenotipe, sedang gen letal
resesif cenderung menghasilkan fenotipe normal pada individu
heterozigot.
Peristiwa letal dominan antara lain dapat dilihat pada ayam redep (creeper),
yaitu ayam dengan kaki dan sayap yang pendek serta mempunyai genotipe
heterozigot (Cpcp). Ayam dengan genotipe CpCp mengalami kematian pada
masa embrio. Apabila sesama ayam redep dikawinkan, akan diperoleh
keturunan dengan nisbah fenotipe ayam redep (Cpcp) : ayam normal (cpcp) =
2 : 1. Hal ini karena ayam dengan genotipe CpCp tidak pernah ada.
Sementara itu, gen letal resesif misalnya adalah gen
penyebab albino pada tanaman jagung. Tanaman jagung dengan genotipe gg
akan mengalami kematian setelah cadangan makanan di dalam biji habis,
karena tanaman ini tidak mampu melakukan fotosintesis sehubungan dengan
tidak adanya khlorofil. Tanaman Gg memiliki warna hijau kekuningan,
sedang tanaman GG adalah hijau normal. Persilangan antara sesama tanaman
Gg akan menghasilkan keturunan dengan nisbah fenotipe normal (GG) :
kekuningan (Gg) = 1 : 2.
Modifikasi Nisbah 9 : 3 : 3 : 1
Modifikasi nisbah 9 : 3 : 3 : 1 disebabkan oleh peristiwa yang
dinamakan epistasis, yaitu penutupan ekspresi suatu gen nonalelik. Jadi,
dalam hal ini suatu gen bersifat dominan terhadap gen lain yang bukan
alelnya. Ada beberapa macam epistasis, masing-masing menghasilkan nisbah
fenotipe yang berbeda pada generasi F2.Epistasis resesif
Peristiwa epistasis resesif terjadi apabila suatu gen resesif
menutupi ekspresi gen lain yang bukan alelnya. Akibat peristiwa ini,
pada generasi F2 akan diperoleh nisbah fenotipe 9 : 3 : 4.
Contoh epistasis resesif dapat dilihat pada pewarisan warna bulu mencit (Mus musculus).
Ada dua pasang gen nonalelik yang mengatur warna bulu pada mencit,
yaitu gen A menyebabkan bulu berwarna kelabu, gen a menyebabkan bulu
berwarna hitam, gen C menyebabkan pigmentasi normal, dan gen c
menyebabkan tidak ada pigmentasi. Persilangan antara mencit berbulu
kelabu (AACC) dan albino (aacc) dapat digambarkan seperti pada diagram
berikut ini.
P : AACC x aacckelabu albino
F1 : AaCc
kelabu
F2 : 9 A-C- kelabu
- A-cc albino kelabu : hitam : albino =
- aaC- hitam 9 : 3 : 4
Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis resesif
Epistasis dominan
Pada peristiwa epistasis dominan terjadi penutupan ekspresi gen oleh
suatu gen dominan yang bukan alelnya. Nisbah fenotipe pada generasi F2 dengan adanya epistasis dominan adalah 12 : 3 : 1.
Peristiwa epistasis dominan dapat dilihat misalnya pada pewarisan warna buah waluh besar (Cucurbita pepo).
Dalam hal ini terdapat gen Y yang menyebabkan buah berwarna kuning dan
alelnya y yang menyebabkan buah berwarna hijau. Selain itu, ada gen W
yang menghalangi pigmentasi dan w yang tidak menghalangi pigmentasi.
Persilangan antara waluh putih (WWYY) dan waluh hijau (wwyy)
menghasilkan nisbah fenotipe generasi F2 sebagai berikut.
P : WWYY x wwyy
putih hijau
F1 : WwYy
putih
F2 : 9 W-Y- putih
3 W-yy putih putih : kuning : hijau =
3 wwY- kuning 12 : 3 : 1
1 wwyy hijau
Gambar 2.7. Diagram persilangan epistasis dominan
Epistasis resesif ganda
Apabila gen resesif dari suatu pasangan gen, katakanlah gen I,
epistatis terhadap pasangan gen lain, katakanlah gen II, yang bukan
alelnya, sementara gen resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis
terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis
resesif ganda. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 9 : 7 pada
generasi F2.
Sebagai contoh peristiwa epistasis resesif ganda dapat dikemukakan pewarisan kandungan HCN pada tanaman Trifolium repens. Terbentuknya HCN pada tanaman ini dapat dilukiskan secara skema sebagai berikut.
gen L gen H
Bahan dasar enzim L glukosida sianogenik enzim H HCN
Gen L menyebabkan terbentuknya enzim L yang mengatalisis
perubahan bahan dasar menjadi bahan antara berupa glukosida sianogenik.
Alelnya, l, menghalangi pembentukan enzim L. Gen H menyebabkan
terbentuknya enzim H yang mengatalisis perubahan glukosida sianogenik
menjadi HCN, sedangkan gen h menghalangi pembentukan enzim H. Dengan
demikian, l epistatis terhadap H dan h, sementara h epistatis terhadap L
dan l. Persilangan dua tanaman dengan kandungan HCN sama-sama rendah
tetapi genotipenya berbeda (LLhh dengan llHH) dapat digambarkan sebagai
berikut.
P : LLhh x llHH
HCN rendah HCN rendah
F1 : LlHh
HCN tinggi
F2 : 9 L-H- HCN tinggi
3 L-hh HCN rendah HCN tinggi : HCN rendah =
3 llH- HCN rendah 9 : 7
1 llhh HCN rendah
Gambar 2.8. Diagram persilangan epistasis resesif gandaEpistasis dominan ganda
Apabila gen dominan dari pasangan gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara gen dominan dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan gen I, maka epistasis yang terjadi dinamakan epistasis dominan ganda. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 15 : 1 pada generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan ganda dapat dilihat pada pewarisan bentuk buah Capsella. Ada dua macam bentuk buah Capsella,
yaitu segitiga dan oval. Bentuk segitiga disebabkan oleh gen dominan C
dan D, sedang bentuk oval disebabkan oleh gen resesif c dan d. Dalam hal
ini C dominan terhadap D dan d, sedangkan D dominan terhadap C dan c.
P : CCDD x ccddsegitiga oval
F1 : CcDd
segitiga
F2 : 9 C-D- segitiga
3 C-dd segitiga segitiga : oval = 15 : 1
3 ccD- segitiga
1 ccdd oval
Gambar 2.9. Diagram persilangan epistasis dominan ganda
Epistasis domian-resesif
Epistasis dominan-resesif terjadi apabila gen dominan dari pasangan
gen I epistatis terhadap pasangan gen II yang bukan alelnya, sementara
gen resesif dari pasangan gen II ini juga epistatis terhadap pasangan
gen I. Epistasis ini menghasilkan nisbah fenotipe 13 : 3 pada generasi F2.
Contoh peristiwa epistasis dominan-resesif dapat dilihat pada
pewarisan warna bulu ayam ras. Dalam hal ini terdapat pasangan gen I,
yang menghalangi pigmentasi, dan alelnya, i, yang tidak menghalangi
pigmentasi. Selain itu, terdapat gen C, yang menimbulkan pigmentasi, dan
alelnya, c, yang tidak menimbulkan pigmentasi. Gen I dominan terhadap C
dan c, sedangkan gen c dominan terhadap I dan i.
P : IICC x iiccputih putih
F1 : IiCc
putih
F2 : 9 I-C- putih
3 I-cc putih putih : berwarna = 13 : 3
3 iiC- berwarna
1 iicc putih
Gambar 2.10. Diagram persilangan epistasis dominan-resesif
Epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif
Pada Cucurbita pepo dikenal tiga macam bentuk buah, yaitu
cakram, bulat, dan lonjong. Gen yang mengatur pemunculan fenotipe
tersebut ada dua pasang, masing-masing B dan b serta L dan l. Apabila
pada suatu individu terdapat sebuah atau dua buah gen dominan dari salah
satu pasangan gen tersebut, maka fenotipe yang muncul adalah bentuk
buah bulat (B-ll atau bbL-). Sementara itu, apabila sebuah atau dua buah
gen dominan dari kedua pasangan gen tersebut berada pada suatu
individu, maka fenotipe yang dihasilkan adalah bentuk buah cakram
(B-L-). Adapun fenotipe tanpa gen dominan (bbll) akan berupa buah
berbentuk lonjong. Pewarisan sifat semacam ini dinamakan epistasis gen
duplikat dengan efek kumulatif.
P : BBLL x bbll
cakram lonjong
F1 : BbLl
cakram
F2 : 9 B-L- cakram
3 B-ll bulat cakram : bulat : lonjong = 9 : 6 : 1
3 bbL- bulat
1 bbll lonjong
Gambar 2.11. Diagram persilangan epistasis gen duplikat dengan efek kumulatif
Interaksi Gen
Selain mengalami berbagai modifikasi nisbah fenotipe
karena adanya peristiwa aksi gen tertentu, terdapat pula penyimpangan
semu terhadap hukum Mendel yang tidak melibatkan modifikasi nisbah
fenotipe, tetapi menimbulkan fenotipe-fenotipe yang merupakan hasil
kerja sama atau interaksi dua pasang gen nonalelik. Peristiwa semacam
ini dinamakan interaksi gen.
Peristiwa interaksi gen pertama kali dilaporkan oleh W.
Bateson dan R.C. Punnet setelah mereka mengamati pola pewarisan bentuk
jengger ayam. Dalam hal ini terdapat empat macam bentuk jengger ayam,
yaitu mawar, kacang, walnut, dan tunggal, seperti dapat dilihat pada
Gambar 2.12.
Gambar 2.12. Bentuk jengger ayam dari galur yang berbeda
Persilangan ayam berjengger mawar dengan ayam berjengger kacang
menghasilkan keturunan dengan bentuk jengger yang sama sekali berbeda
dengan bentuk jengger kedua tetuanya. Ayam hibrid (hasil persilangan)
ini memiliki jengger berbentuk walnut. Selanjutnya, apabila ayam
berjengger walnut disilangkan dengan sesamanya, maka diperoleh generasi F2 dengan nisbah fenotipe walnut : mawar : kacang : tunggal = 9 : 3 : 3 : 1.
Dari nisbah fenotipe tersebut, terlihat adanya satu
kelas fenotipe yang sebelumnya tidak pernah dijumpai, yaitu bentuk
jengger tunggal. Munculnya fenotipe ini, dan juga fenotipe walnut,
mengindikasikan adanya keterlibatan dua pasang gen nonalelik yang
berinteraksi untuk menghasilkan suatu fenotipe. Kedua pasang gen
tersebut masing-masing ditunjukkan oleh fenotipe mawar dan fenotipe
kacang.
Apabila gen yang bertanggung jawab atas munculnya
fenotipe mawar adalah R, sedangkan gen untuk fenotipe kacang adalah P,
maka keempat macam fenotipe tersebut masing-masing dapat dituliskan
sebagai R-pp untuk mawar, rrP- untuk kacang, R-P- untuk walnut, dan rrpp
untuk tunggal. Dengan demikian, diagram persilangan untuk pewarisan
jengger ayam dapat dijelaskan seperti pada Gambar 2.13.
P : RRpp x rrPP
mawar kacang
F1 : RrPp
walnut
F2 : 9 R-P- walnut
3 R-pp mawar walnut : mawar : kacang : tunggal
3 rrP- kacang = 9 : 3 : 3 : 1
1 rrpp tunggal
Gambar 2.13. Diagram persilangan interaksi gen nonalelik
Teori Peluang
Percobaan-percobaan persilangan secara teori akan menghasilkan
keturunan dengan nisbah tertentu. Nisbah teoretis ini pada hakekatnya
merupakan peluang diperolehnya suatu hasil, baik berupa fenotipe maupun
genotipe. Sebagai contoh, persilangan monohibrid antara sesama individu
Aa akan memberikan nisbah fenotipe A- : aa = 3 : 1 dan nisbah genotipe
AA : Aa : aa = 1 : 2 : 1 pada generasi F2. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa peluang diperolehnya fenotipe A- dari persilangan
tersebut adalah 3/4, sedangkan peluang munculnya fenotipe aa adalah 1/4.
Begitu juga, untuk genotipe, peluang munculnya AA, Aa, dan aa
masing-masing adalah 1/4, 2/4 (=1/2), dan 1/4.
Peluang munculnya suatu kejadian dapat didefinisikan sebagai nisbah
munculnya kejadian tersebut terhadap seluruh kejadian. Nilai peluang
berkisar dari 0 (0%) hingga 1 (100%). Kejadian yang tidak pernah muncul
sama sekali dikatakan memiliki peluang = 0, sedangkan kejadian yang
selalu muncul dikatakan memiliki peluang = 1.
Dua kejadian independen untuk muncul bersama-sama akan memiliki
peluang yang besarnya sama dengan hasil kali masing-masing peluang
kejadian. Sebagai contoh, kejadian I dan II yang independen
masing-masing memiliki peluang = 1/2. Peluang bagi kejadian I dan II
untuk muncul bersama-sama = 1/2 x 1/2 = 1/4. Contoh lainnya adalah pada
pelemparan dua mata uang logam sekaligus. Jika peluang untuk mendapatkan
salah satu sisi mata uang = 1/2, maka peluang untuk mendapatkan sisi
mata uang tersebut pada dua mata uang logam yang dilempar sekaligus =
1/2 x 1/2 = 1/4.
Apabila ada dua kejadian, misalnya A dan B yang masing-masing
memiliki peluang kemunculan sebesar p dan q, maka sebaran peluang
kemunculan kedua kejadian tersebut adalah (p + q)n. Dalam hal
ini n menunjukkan banyaknya ulangan yang dilakukan untuk memunculkan
kejadian tersebut. Untuk jelasnya bisa dilihat contoh soal berikut ini.
Berapa peluang untuk memperoleh tiga sisi bergambar burung garuda dan
dua sisi tulisan pada uang logam Rp 100,00 apabila lima mata uang logam
tersebut dilemparkan bersama-sama secara independen ? Jawab :
Peluang memperoleh sisi gambar = p = 1/2, sedangkan peluang memperoleh
sisi tulisan = q = 1/2. Sebaran peluang memperoleh kedua sisi tersebut =
(p + q)5 = p5 + 5 p4q + 10 p3q2 + 10 p2q3 + 5 pq4 + q5. Dengan demikian, peluang memperoleh tiga sisi gambar dan dua sisi tulisan = 10 p3q2 = 10 (1/2)3(1/2)2 = 10/32.
Contoh lain penghitungan peluang misalnya pada sepasang suami-istri
yang masing-masing pembawa (karier) sifat albino. Gen penyebab albino
adalah gen resesif a. Jika mereka ingin memiliki empat orang anak yang
semuanya normal, maka peluang terpenuhinya keinginan tersebut adalah
81/256. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Aa x Aa
suami istri
3 A- (normal)
1 aa (albino)
Peluang munculnya anak normal = 3/4 (misalnya = p)
Peluang munculnya anak albino = 1/4 (misalnya = q)
Karena ingin diperoleh empat anak, maka sebaran peluangnya = (p + q)4
= p4 + 4p3q + 6p2q2 + 4pq3 + q4
Peluang mendapatkan empat anak normal = p4 = (3/4)4 = 81/256
Uji X2 (Chi-square test)
Pada kenyataannya nisbah teoretis yang merupakan peluang diperolehnya
suatu hasil percobaan persilangan tidak selalu terpenuhi. Penyimpangan
(deviasi) yang terjadi bukan sekedar modifikasi terhadap nisbah Mendel
seperti yang telah diuraikan di atas, melainkan sesuatu yang adakalanya
tidak dapat diterangkan secara teori. Agar lebih jelas, berikut ini
akan diberikan sebuah contoh.
Suatu persilangan antara sesama individu dihibrid (AaBb)
menghasilkan keturunan yang terdiri atas empat macam fenotipe, yaitu
A-B-, A-bb, aaB-, dan aabb masing-masing sebanyak 315, 108, 101, dan 32.
Untuk menentukan bahwa hasil persilangan ini masih memenuhi nisbah
teoretis ( 9 : 3 : 3 : 1 ) atau menyimpang dari nisbah tersebut perlu
dilakukan suatu pengujian secara statistika. Uji yang lazim digunakan
adalah uji X2 (Chi-square test) atau ada yang menamakannya uji kecocokan (goodness of fit).
Untuk melakukan uji X2 terhadap hasil percobaan seperti pada contoh tersebut di atas, terlebih dahulu dibuat tabel sebagai berikut.Tabel 2.1. Contoh pengujian hasil persilangan dihibrid
Kelas fenotipe | O (hasil percobaan) | E (hasil yang diharapkan) | d = [O-E] | d2/E |
A-B- | 315 | 9/16 x 556 = 312,75 | 2,25 | 0,016 |
A-bb | 108 | 3/16 x 556 = 104,25 | 3,75 | 0,135 |
AaB- | 101 | 3/16 x 556 = 104,25 | 3,25 | 0,101 |
Aabb | 32 | 1/16 x 556 = 34,75 | 2,75 | 0,218 |
Jumlah | 556 | 556 | X2h = 0,470 |
Pada tabel tersebut di atas dapat dilihat bahwa hsil percobaan
dimasukkan ke dalam kolom O sesuai dengan kelas fenotipenya
masing-masing. Untuk memperoleh nilai E (hasil yang diharapkan),
dilakukan perhitungan menurut proporsi tiap kelas fenotipe. Selanjutnya
nilai d (deviasi) adalah selisih antara O dan E. Pada kolom paling
kanan nilai d dikuadratkan dan dibagi dengan nilai E masing-masing,
untuk kemudian dijumlahkan hingga menghasilkan nilai X2h atau X2 hitung. Nilai X2h inilah yang nantinya akan dibandingkan dengan nilai X2 yang terdapat dalam tabel X2 (disebut nilai X2tabel ) yang disingkat menjadi X2t. Apabila X2h lebih kecil daripada X2t
dengan peluang tertentu (biasanya digunakan nilai 0,05), maka dikatakan
bahwa hasil persilangan yang diuji masih memenuhi nisbah Mendel.
Sebaliknya, apabila X2h lebih besar daripada X2t, maka dikatakan bahwa hasil persilangan yang diuji tidak memenuhi nisbah Mendel pada nilai peluang tertentu (biasanya 0,05).
Adapun nilai X2t yang akan digunakan sebagai pembanding bagi nilai X2h
dicari dengan cara sebagai berikut. Kita tentukan terlebih dahulu
nilai derajad bebas (DB), yang merupakan banyaknya kelas fenotipe
dikurangi satu. Jadi, pada contoh di atas nilai DB nya adalah 4 – 1 = 3.
Selanjutnya, besarnya nilai DB ini akan menentukan baris yang harus
dilihat pada tabel X2. Setelah barisnya ditentukan, untuk mendapatkan nilai X2t pembanding dilihat kolom peluang 0,05. Dengan demikian, nilai X2t pada contoh tersebut adalah 7,815. Oleh karena nilai X2h (0,470) lebih kecil daripada nilai X2t (7,815), maka dikatakan bahwa hasil persilangan tersebut masih memenuhi nisbah Mendel.
Tabel 2.2. Tabel X2 Derajad Bebas | Peluang | ||||||
0,95 | 0,80 | 0,50 | 0,20 | 0,05 | 0,01 | 0,005 | |
1 | 0,004 | 0,064 | 0,455 | 1,642 | 3,841 | 6,635 | 7,879 |
2 | 0,103 | 0,446 | 1,386 | 3,219 | 5,991 | 9,210 | 10,597 |
3 | 0,352 | 1,005 | 2,366 | 4,642 | 7,815 | 11,345 | 12,838 |
4 | 0,711 | 1,649 | 3,357 | 5,989 | 9,488 | 13,277 | 14,860 |
5 | 1,145 | 2,343 | 4,351 | 7,289 | 11,070 | 15,086 | 16,750 |
6 | 1,635 | 3,070 | 5,348 | 8,558 | 12,592 | 16,812 | 18,548 |
7 | 2,167 | 3,822 | 6,346 | 9,803 | 14,067 | 18,475 | 20,278 |
8 | 2,733 | 4,594 | 7,344 | 11,030 | 15,507 | 20,090 | 21,955 |
9 | 3,325 | 5,380 | 8,343 | 12,242 | 16,919 | 21,666 | 23,589 |
10 | 3,940 | 6,179 | 9,342 | 13,442 | 18,307 | 23,209 | 25,188 |
15 | 7,261 | 10,307 | 14,339 | 19,311 | 24,996 | 30,578 | 32,801 |
20 | 10,851 | 14,578 | 19,337 | 25,038 | 31,410 | 37,566 | 39,997 |
25 | 14,611 | 18,940 | 24,337 | 30,675 | 37,652 | 44,314 | 46,928 |
30 | 18,493 | 23,364 | 29,336 | 36,250 | 43,773 | 50,892 | 53,672 |
Di muka telah disinggung bahwa alel merupakan bentuk alternatif suatu gen yang terdapat pada lokus (tempat) tertentu. Individu dengan genotipe AA dikatakan mempunyai alel A, sedang individu aa mempunyai alel a. Demikian pula individu Aa memiliki dua macam alel, yaitu A dan a. Jadi, lokus A dapat ditempati oleh sepasang (dua buah) alel, yaitu AA, Aa atau aa, bergantung kepada genotipe individu yang bersangkutan.
Namun, kenyataan yang sebenarnya lebih umum dijumpai adalah bahwa
pada suatu lokus tertentu dimungkinkan munculnya lebih dari hanya dua
macam alel, sehingga lokus tersebut dikatakan memiliki sederetan alel.
Fenomena semacam ini disebut sebagai alel ganda (multiple alleles).
Meskipun demikian, pada individu diploid, yaitu individu yang tiap
kromosomnya terdiri atas sepasang kromosom homolog, betapa pun banyaknya
alel yang ada pada suatu lokus, yang muncul hanyalah sepasang (dua
buah). Katakanlah pada lokus X terdapat alel X1, X2, X3, X4, X5. Maka, genotipe individu diploid yang mungkin akan muncul antara lain X1X1, X1X2, X1X3, X2X2
dan seterusnya. Secara matematika hubungan antara banyaknya anggota
alel ganda dan banyaknya macam genotipe individu diploid dapat
diformulasikan sebagai berikut.
( n + 1 ) !
Banyaknya macam genotipe =
2 ! ( n – 1 ) !
atau
n = banyaknya anggota alel ganda
Beberapa Contoh Alel Ganda
Alel ganda pada lalat Drosophila
Lokus w pada Drosophila melanogaster mempunyai sederetan
alel dengan perbedaan tingkat aktivitas dalam produksi pigmen mata yang
dapat diukur menggunakan spektrofotometer. Tabel 2.3 memperlihatkan
konsentrasi relatif pigmen mata yang dihasilkan oleh berbagai macam
genotipe homozigot pada lokus w.
D. melanogaster
Genotipe Konsentrasi relatif pigmen mata terhadap pigmen total Genotipe Konsentrasi relatif pigmen mata terhadap pigmen total ww 0,0044 wsatwsat 0,1404 wawa 0,0197 wcolwcol 0,1636 wewe 0,0324 w+sw+s 0,6859 wchwch 0,0410 w+cw+c 0,9895 wcowco 0,0798 w+Gw+G 1,2548
Alel ganda pada tanaman
Contoh umum alel ganda pada tanaman ialah alel s, yang berperan dalam
mempengaruhi sterilitas. Ada dua macam sterilitas yang dapat
disebabkan oleh alel s, yaitu sterilitas sendiri (self sterility) dan sterilitas silang (cross sterility). Mekanisme terjadinya sterilitas oleh alel s pada garis besarnya berupa kegagalan pembentukan saluran serbuk sari (pollen tube) akibat adanya semacam reaksi antigen – antibodi antara saluran tersebut dan dinding pistil.
s1 s2 s1s2 s2s3
s1s2 s1s2 s2s3
Gambar 2.14 Diagram sterilitas s
= fertil
= steril
Alel ganda pada kelinci
Pada kelinci terdapat alel ganda yang mengatur warna bulu. Alel ganda ini mempunyai empat anggota, yaitu c+, cch, ch,
dan c, masing-masing untuk tipe liar, cincila, himalayan, dan albino.
Tipe liar, atau sering disebut juga agouti, ditandai oleh pigmentasi
penuh; cincila ditandai oleh warna bulu kelabu keperak-perakan;
himalayan berwarna putih dengan ujung hitam, terutama pada anggota
badan. Urutan dominansi keempat alel tersebut adalah c+ > cch > ch > c dengan sifat dominansi penuh. Sebagai contoh, genotipe heterozigot cchc, akan mempunyai bulu tipe cincila.
Golongan darah sistem ABO pada manusia
Pada tahun 1900 K. Landsteiner menemukan lokus ABO pada manusia yang terdiri atas tiga buah alel, yaitu IA, IB, dan I0. Dalam keadaan heterozigot IA dan IB bersifat kodominan, sedang I0
merupakan alel resesif (lihat juga bagian kodominansi pada bab ini).
Genotipe dan fenotipe individu pada sistem ABO dapat dilihat pada tabel
2.4.
Tabel 2.4. Genotipe dan fenotipe individu pada sistem ABOGenotipe Fenotipe IAIA atau IAI0 A IBIB atau IBI0 B IAIB AB I0I0 O
Dalam tubuh seseorang tidak mungkin terjadi reaksi antara antigen dan
antibodi yang dimilikinya sendiri. Namun, pada transfusi darah
kemungkinan terjadinya reaksi antigen-antibodi yang mengakibatkan
terjadinya aglutinasi (penggumpalan) eritrosit tersebut sangat perlu
untuk diperhatikan agar dapat dihindari. Tabel 2.5 memperlihatkan
kompatibilitas golongan darah sistem ABO pada transfusi darah.
Golongan darah | Antigen dalam eritrosit | Antibodi dalam serum | Eritrosit yang digumpalkan | Golongan darah donor |
A | A | anti B | B dan AB | A dan O |
B | B | anti A | A dan AB | B dan O |
AB | A dan B | - | - | A, B, AB, dan O |
O | - | anti A dan anti B | A, B, dan AB | O |
Selain tipe ABO, K. Landsteiner,
bersama-sama dengan P.Levine, pada tahun 1927 berhasil mengklasifikasi
golongan darah manusia dengan sistem MN. Sama halnya dengan sistem ABO,
pengelompokan pada sistem MN ini dilakukan berdasarkan atas reaksi
antigen – antibodi seperti dapat dilhat pada tabel 2.6. Namun, kontrol gen pada golongan darah sistem MN tidak berupa alel ganda, tetapi dalam hal ini hanya ada sepasang alel, yaitu IM dan IN
, yang bersifat kodominan. Dengan demikian, terdapat tiga macam
fenotipe yang dimunculkan oleh tiga macam genotipe, masing-masing
golongan darah M (IMIM), golongan darah MN (IMIN), dan golongan darah N (ININ).
Tabel 2.6. Golongan darah sistem MN Genotipe Fenotipe Anti M Anti N IMIM M + - IMIN MN + + ININ N - +
Sebenarnya masih banyak lagi sistem
golongan darah pada manusia. Saat ini telah diketahui lebih dari 30 loki
mengatur sistem golongan darah, dalam arti bahwa tiap lokus mempunyai
alel yang menentukan jenis antigen yang ada pada permukaan eritrosit.
Namun, di antara sekian banyak yang dikenal tersebut, sistem ABO dan MN
merupakan dua dari tiga sistem golongan darah pada manusia yang paling
penting. Satu sistem lainnya adalah sistem Rh (resus).
Sistem Rh pertama kali ditemukan oleh K.
Landsteiner, bersama dengan A.S. Wiener, pada tahun 1940. Mereka
menemukan antibodi dari kelinci yang diimunisasi dengan darah seekor
kera (Macaca rhesus).
Antibodi yang dihasilkan oleh kelinci tersebut ternyata tidak hanya
menggumpalkan eritrosit kera donor, tetapi juga eritrosit sebagian besar
orang kulit putih di New York. Individu yang memperlihatkan reaksi antigen-antibodi ini disebut Rh positif (Rh+), sedang yang tidak disebut Rh negatif (Rh-).
Pada mulanya kontrol genetik sistem Rh diduga sangat sederhana, yaitu R untuk Rh+ dan r untuk Rh-.
Namun, dari temuan berbagai antibodi yang baru, berkembang hipotesis
bahwa faktor Rh dikendalikan oleh alel ganda. Hal ini dikemukakan oleh
Wiener. Sementara itu, R.R. Race dan R.A. Fiescher mengajukan hipotesis
bahwa kontrol genetik untuk sistem Rh adalah poligen (lihat juga BabXIV).
Menurut hipotesis poligen, ada tiga loki
yang mengatur sistem Rh. Oleh karena masing-masing lokus mempunyai
sepasang alel, maka ada enam alel yang mengatur sistem Rh, yaitu C, c D,
d, E, dan e. Kecuali d, tiap alel ini menentukan adanya antigen
tertentu pada eritrosit, yang diberi nama sesuai dengan alel yang
mengaturnya. Jadi, ada antigen C, c,
D, E, dan e. Dari lokus C dapat diperoleh tiga macam fenotipe, yaitu CC
(menghasilkan antigen C), Cc (menghasilkan antigen C dan c), serta cc
(menghasilkan antigen c). Begitu juga dari lokus E akan diperoleh tiga
macam fenotipe, yaitu EE, Ee, dan ee. Akan tetapi, dari lokus D hanya
dimungkinkan adanya dua macam fenotipe, yaitu D- (menghasilkan antigen
D) dan dd (tidak menghasilkan antigen D). Fenotipe D- dan dd inilah yang
masing-masing menentukan suatu individu akan dikatakan sebagai Rh+ dan Rh-. Secara keseluruhan kombinasi alel pada ketiga loki tersebut dapat memberikan 18 macam fenotipe (sembilan Rh+ dan sembilan Rh-).
Bertemunya antibodi Rh
(anti D) yang dimiliki oleh seorang wanita dengan janin yang sedang
dikandungnya dapat mengakibatkan suatu gangguan darah yang serius pada
janin tersebut. Hal ini dimungkinkan terjadi karena antibodi Rh (anti D)
pada ibu tadi dapat bergerak melintasi plasenta dan menyerang eritrosit
janin. Berbeda dengan antibodi anti A atau anti B, yang biasanya sulit
untuk menembus halangan plasenta, antibodi Rh mudah melakukannya karena
ukuran molekulnya yang relatif kecil.
Penyakit darah karena faktor Rh terjadi apabila seorang wanita Rh- (dd) menikah dengan pria Rh+ (DD)
sehingga genotipe anaknya adalah Dd. Pada masa kehamilan sering kali
terjadi percampuran darah antara ibu dan anaknya, sehingga dalam
perkawinan semacam itu ibu yang Rh- akan memperoleh imunisasi dari anaknya yang Rh+.
Apabila wanita tersebut mengandung janin Dd secara berturut-turut, maka
ia akan menghasilkan antibodi anti D. Biasanya tidak akan terjadi efek
yang merugikan terhadap anak yang pertama akibat reaksi penolakan
tersebut. Akan tetapi, anak yang lahir berikutnya dapat mengalami gejala
penyakit yang disebut eritroblastosis fetalis. Pada tingkatan berat penyakit ini dapat mengakibatkan kematian.
Dengan adanya peluang
reaksi antigen – antibodi dalam golongan darah manusia, maka dilihat
dari kompatibiltas golongan darah antara suami dan istri dapat dibedakan
dua macam perkawinan, masing-masing
-
Perkawinan yang kompatibel, yaitu perkawinan yang tidak memungkinkan berlangsungnya reaksi antigen-antibodi di antara ibu dan anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.
- Perkawinan yang inkompatibel, perkawinan yang memungkinkan berlangsungnya reaksi antigen-antibodi di antara ibu dan anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut.
Sumber : BIOLOGI ONLINE : blog pendidikan biologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar